Jumat, 03 April 2009

BAB 3.

Posted By Ri

Bab III
Keluarga yang Tidak Hangat

Ada banyak hal di dunia ini yang bisa mengejutkan kita. Terkadang, kita sendiri yang mengharapkan kejutan-kejutan semacam itu datang. Biasanya, yang kita harapkan adalah kejutan-kejutan besar yang akhirnya tak pernah datang. Yang tidak kita sadari, terkadang hal-hal kecil yang sepele lah yang akhirnya menjadi kejutan besar.
Bagiku, inilah dia, kejutan kecil yang membuatku benar-benar terkejut. Kak Ben, kakak keduaku, yang sangat kusayangi, akhirnya pulang. Dan dialah yang membukakan pintu untukku. Yang lebih mengejutkanku adalah balutan perban di kepalanya itu. Bukan hanya terkejut. Aku shock!
“Kak Ben! Kenapa…? Apa yang…”
Dia tersenyum kecil, dan dengan tangannya dia menggiringku masuk dan menutup pintu.
“Kak Ben! Kepala kakak kenapa?” tanyaku dengan suara lebih keras saat dia tidak juga menjawab.
“Kakak nggak apa-apa. Ini luka biasa kok,” jawabnya kalem, seakan-akan yang kupertanyakan adalah jerawat kecil di dahinya atau matanya kemasukan debu.
“Nggak apa-apa gimana? Kalau kepala bocor masih nggak apa-apa, kalau mati baru bisa bilang ada apa-apa?” kataku tanpa benar-benar memaksudkannya.
Kak Ben tertawa kecil. Dia menggiringku ke ruang keluarga, lalu duduk bergabung bersama Kak Bin. Kak Bon sedang memainkan Spongeob di PS di depan mereka. Di coffee table tergeletak kotak P3K dan sebaskom air hangat. Aku meletakkan tas sekolahku di kursi berlengan dan duduk di sana. Pandanganku cukup untuk menuntut penjelasan.
“Yah… nggak ada yang perlu dijelasin secara khusus kok,” kata Kak Ben menjawab pandangan bertanyaku.
“Lha terus itu apa? Benjol? Jerawat?” tanyaku sinis.
Kak Bin yang sedang menggulung kembali perban tyang mewakili Kak Ben menjawab,”Dia kejedot di hutan.”
Jawaban yang sederhana sekaligus konyol.
“Terus? Kejedotnya sama apa? Pohon? Batu?” kataku.
“Udahlah, nggak usah diinterogasi. Ben kan udah balik, ya udah. Yang penting kan dianya masih hidup,” sahut Kak Bon tanpa melepas pandangannya dari Patrick yang sedang menggoreng patties.
Kak Ben melempar kotak perban ke kepala Kak Bon. Karena itu, entah mengapa Patrick jadi salah bergerak dan Kak Bon kalah.
“Aah, lu sih Ben! Rese lo!” katanya sambil balas melempar kacang atom.
Mereka berdua saling lempar melempar dan buntutnya bergelut di bawah coffee table.
“Aku mau mandi ah! Kalau makan malam udah siap, panggil ya!” kataku.
“Makan malam gimana? Kamu aja baru pulang. Kemana aja sih?” kata Kak Bon di sela-sela pitingan Kak Ben.
“Kenal microwave kan? Panasin sendiri dong!” kataku sambil naik ke kamarku di lantai dua.
Tiba-tiba tubuhku terasa capek sekali. inginnya langsung rebah dan tidur, tapi aku memaksakan diri untuk mandi dan berganti pakaian. Setelah duduk di atas kasur dan begitu kepalaku menyentuh bantal, aku langsung terlelap.
Entah berapa lama kepalaku berada di dalam bantalku yang empuk tetapi rasanya begitu bangun, rasa pegal-pegal di tubuhku sudah hilang. Padahal rasanya hanya dua menit. Atau dua detik? Aku melihat jam dinding, sudah pukul dua belas malam. Perutku lapar, baru saja kusadari apa yang mengganjal. Makanan terakhir yang dicernanya adalah junk food, dan aku tidak heran perutku sudah keruyukan lagi. Aku malas turun ke dapur, jadi kuputuskan menyelinap ke kamar Kak Bon dan menjarah roti gula berlapis keju yang aku tahu selalu disediakan di kamarnya, dan kalau beruntung seharusnya masih ada Sunkist di kulkas kecilnya. Kak Bon diberikan kulkas mini itu karena di kamarnya tidak ada komputer. Komputer di lantai dua hanya ada di kamarku.
Aku menyelinap sesenyap kucing garong dan mendapati Kak Bon sedang tidur menelungkup dengan posisi yang tidak simetris dengan tempat tidurnya. Sebelah tangannya menjuntai ke bawah dan kakinya berada di bawah bantal di dekat kepala tempat tidurnya. Setahuku dia satu-satunya kakak laki-lakiku yang suka tidur dengan hanya memakai boxer dan tidak suka memakai bantal. Karena melihat hal tak senonoh itu aku jadi merasa nilai sopan santunku dipertaruhkan, maka aku menggoyang-goyangkan bahu telanjangnya dan hanya mendapat balasan gumaman tak jelas.
“Kak Bon, aku minta rotinya ya…”
“Hayaeyai… eyahi.. hoyo…”
“Oke, thanks!”
Stage clear! Aku berindap ke kulkas mini berwarna merah itu dan benar saja, sebungkus roti gula berlapis keju tersimpan rapi di samping seplastik Sunkist, tepat seperti dugaanku. Aku meneliti lebih jauh lagi, apa yang kira-kira bisa kumakan, dan ternyata hasilnya nihil. Aku tidak yakin mau memakan wortel mentah di bawah itu dan aku juga tidak suka susu low fat di rak pintu ini jadi kubawa pergi roti dan Sunkist-nya saja.
“Makasih, Kakak sayang!” bisikku sambil mengecup dahinya.
Ketika kututup pintu kamarnya, kulihat dia sedang menggaruk-garuk dahinya yang kucium. Kakak sialan!
Aku berjingkat-jingkat dengan roti di tangan kananku, dan sebuah Sunkist si tangan kiriku. Baru saja aku mau masuk kembali ke dalam kamar, kudengar ada suara-suara dari ruang TV. Aku terdiam sejenak, mencoba mengenali suara-suara itu. Ternyata suara Ayah dan Kak Ben, mereka sedang berbicara berdua
Dilatar belakangi pembawa berita Breaking News di Metro TV. Entah apa alasannya, tapi sepertinya aku tahu apa yang sedang mereka berdua bicarakan, dan aku tahu aku tidak mau menguping pembicaraan mereka.
Aku pun masuk ke dalam kamar dan mulai pesta tengah malam.


Esok harinya kujalani sebagai hari yang biasa. Bahkan sejak aku bangun tadi pagi sampai sekarang saat aku dan Adela duduk-duduk di ruangan klub fotografi bersama Milan dan beberapa junior klub, tak ada sesuatu istimewa yang terjadi. Mungkin karena kemarin adalah salah satu dari beberapa hari yang cukup istmewa buatku, jadi malamnya aku mengharap sesuatu yang istimewa juga terjadi keesokan harinya. Tapi ternyata tidak. Hari ini biasa. Benar-benar biasa.
Aku bangun pagi tadi dan menyiapkan nasi goreng dan sosis buat keluargaku; kali ini lengkap dengan Kak Ben yang kepalanya diperban, pergi ke sekolah dengan Mas Naven yang diperalat Kak Bon karena kebetulan datang mengantar beberapa arsip untuk Ayah. Karena pakai motor, aku tiba di sekolah tidak terlambat dan malah sempat meminjam pena milik Mas Naven karena kotak pensilku beserta semua isinya ketinggalan di rumah. Sebelum bel masuk, aku dan Adela ngemil Cadburry Blueberry dalam toples yang diantarkan dengan baik hatinya oleh Milan ke kelasku, dan pelajaran Bahasa Inggris juga Fisika berlangsung normal sampai bel istirahat. Jadi tidak ada yang spesial pada hari ini. Memang kadang manusia itu berada di atas, kadang di bawah gelindingan roda. Kemarin begitu banyak hal yang mengejutkanku sekaligus worth untuk kukenang, sekarang semuanya lurus saja. Biasa banget.
Aku memperhatikan Adela yang sedang melihat-lihat hasil jepretan Milan di Gunung Bromo ketika minggu lalu dia dan anak-anak klub fotografi lainnya pergi ke sana. Berkali-kali kudengar Adela mendecak kagum dan engomentari hasil gambar bidikan kekasihnya itu. Aku hanya bisa menghela napas bosan. Kuraih toples Cadburry yang tadi dibawa Adela dari kelas dan membuka sebungkus kecil cokelat. Melihat benda yang warnanya sama dengan namanya ini, aku jadi teringat ‘jasa kecil’ yang kuberikan buat Zafran kemarin.
Ngomong-ngomong soal Zafran, kemana saja sih anak itu?
Bukannya aku mau sok akrab dan mengharap dia akan muncul di depanku lalu menyapaku seperti kemarin, dan kemarin-kemarin. Lagipula, siapa aku? Haha. Dia toh juga punya teman-teman yang bisa diurusinya…
Tapi apa salahnya sih nyamperin aku dan sekedar menyapa atau membahas kejadian kemarin sore, atau setidaknya memberitahukan perkembangan cokelat-cokelatnya… Semakin lama kupikirkan hal-hal yang seharusnya bisa jadi alasanya untuk menemuiku, semakin konyol jadinya. Dia kan sudah punya pacar, dan hei! Ingatlah! Dia benar-benar menyayangi pacarnya, entah siapapun itu. Bahkan aku sendiri sudah menyaksikannya sendiri kan, keseriusannya saat menyiapkan kejutan untuk sang pacar?
Cokelat rasa blueberry itu langsung lumer di mulutku saat kuemut. Aku jadi merasa bodoh karena mengharapkan yang bukan-bukan. Oke, aku memang sedikit suka pada Zafran, tapi itu hal yang alamiah kan? Dia ganteng. Siapapun yang melihatnya pada sekali pandang tak mungkin bilang dia jelek dan tidak merasa suka… okelah, sedikit kagum kepadanya. Jadi bukan salahku kalau aku sedikit cemburu pada pacarnya itu, aku berani taruhan bukan aku satu-satunya cewek yang cemburu karenanya.
Aku menghela napas lagi. Milan menyenggol Adela, dan mengangguk ke arahku.
“Dia lagi stress, dari tadi belum ketemu cowoknya,” kata Adela menjelaskan dengan senang hati.
“Cowok? Lo bukannya lagi jomblo, Vi?” kata Milan tanpa perasaan di depan adik-adik kelas.
Aku jadi ingin memasukkan toples ini ke dalam mulutnya.
“Nggak usah ngaco deh, Del!” kataku, agak jutek sebetulnya.
“Makanya lo jangan angot-angotan gitu dong. Mana bisa cowok ngedeketin kalo lo nya bete gitu?” kata Milan menimpali.
“Bising lu!” kataku.
Tiba-tiba seorang cowok nyelonong masuk ke ruang klub dan menghampiri Milan. Dia Inggar, salah satu anak fotografi juga dan… teman sekelas Zafran. Berbeda dengan wujud Zafran dengan tubuhnya yang proporsional, Inggar jangkung, dan kurus ceking dengan pipinya yang kalau bahasaku sih, ‘kempot’, tapi demi kesopanan, maka kubilang ‘tirus’. Aku jadi penasaran ingin menanyakan sesuatu, taoi Adela lah yang pertama menyuarakan yang ada dalam otakku, meskipun kalau sudah cukup mengenal Adela, tentu aku akan tahu bahwa yang akan diucapkannya pasti tidak akan menguntungkanku.
“Nah, ini ada Inggar, Vi. Gar, lo sekelas sama Zafran kan? Tahu nggak dia dimana?” kata Adela, tentu saja, dengan ceplas-ceplos.
Adakah bantal atau selimut di sekitar sini yang bisa menutup mukaku? Atau setidaknya menyumpal mulut Adela? Anak-anak fotografi sering begadang di sini kan, jadi mestinya ada di suatu tempat dekat sini…
“Zafran? Dia ada kok, tadi kayaknya sih ada di kelas. Waktu diajakin anak-anak ke kantin, katanya lagi nggak nafsu makan,” kata Inggar.
Hah? Aku memandang Adela yang melempar pandangan bertanya kepadaku. Apa? Memangnya dia kira aku melakukan sesuatu kemarin sampai Zafran begitu? Aku memalingkan muka. Kenapa ya? apa terjadi sesuatu dengannya? Atau dengan cokelat-cokelatnya?
“Lo samperin gih!” kata Adela kepadaku.
“Lho? Jadi cowok lo itu Zafran? Bukannya…”
Milan tak sempat menyelesaikan kata-katanya, aku keburu melempar toples cokelat ke mukanya.
Aku berdiri dan berjalan ke pintu.
“Yah, Vi… lo mau kemana?” tanya Adela.
“Toilet,” kataku singkat. Saat berbelok bisa kudengar suara Milan berkata, “Yah… ngambek deh dia.”
Sebenarnya aku memang sedang ingin menjauh dari mereka. Karena tidak tahu harus pergi kemana, jadi aku benar-benar pergi ke toilet di lantai satu. Niatnya sih mau buang air, meski aku nggak kebelet, tapi begitu masuk toilet, segerombolan anak kelas dua menyesakkan ruangan di depan cermin. Mereka lagi bergosip, seperti yang bisa kutebak. Baru saja aku berbalik untuk pergi, kudengar sebuah nama yang paling ingin kudengar sekarang, sekaligus paling tak ingin kudengar.
“… Beneran tahu! Katanya para it boys bakalan datang lho. Cowok-cowok sekaliber Zafran…”
Aku langsung menoleh memandang cewek yang berbicara seperti itu. Aku nggak mengenalnya.
“Tahu deeeh, yang admire Zafran banget,” kata cewek yang lainnya. “Kalau gue sih, mendingan Fion, yaa, dia kan tajir koid!”
“Emangnya Zafran nggak tajir gitu?” kata cewek yang pertama membicarakan Zafran.
“Yaa… setajir-tajirnya Zafran atau Fion, jelas nggak ada yang bisa ngalahin tajirnya Adan…”
“Siapa tuh?”
“Selingkuhannya Bu Ami!”
“Hahahaa…”
Aku memutar bola mata. Tapi demi mendengar labih banyak lagi soal Zafran, aku masuk ke bilik toilet, menguncinya, dan berdiri diam di balik pintunya.
“Ngomong-ngomong, ada yang tahu gosip baru nggak, soal Zafran?” kata suara baru—yang juga tidak kukenal—dengan suara rendah sok misterius, padahal dia seharusnya tahu pasti suaranya akan terdengar ke seisi toilet.
“Apa? Apa?”
“Dia kan… lagi nargetin cewek lhoo…”
“Haah?” seluruh bangunan toilet menggemakan suara cewek-cewek bising yang tiba-tiba bertanya-tanya siapa gerangan cewek itu. Aku sendiri pun sebenarnya ikut bertanya-tanya. Bukannya Zafran udah punya pacar? Ups, jangan-jangan, cokelat yang dibuatnya kemarin itu untuk menembak target barunya? Jangan-jangan… Zafran cowok playboy jempolan! Tapi kalau memang begitu… dia sudah meakai jasaku! No! aku nggak mau… Aku nggak mau dia nembak cewek lain dengan cokelatku… cokelat hasil ajaranku…
“Siapa sih?” tanya suara—yang singatku—cewek yang ngefans sama Zafran.
“Gue nggak tahu kongkritnya juga sih ya… tapi yang jelas, anak sini lho! Kalo kata gue sih, palingan Tiffany anak kelas dua belas itu. Gue dua kali ngeliat Zafran nganterin dia pulang…”
Tanpa sadar tanganku jatuh lemas ke pintu dan menimbulkan suara keras. Seketika, suara cewek-cewek itu berhenti. Sialan! aku menelan ludah, dan memutuskan untuk bersikap cool, dan keluar dari ruangan berbau cairan pembersih ini.
Aku mendorong pintu dan melalui cewek-cewek itu tanpa melihat mereka. Aku yakin mereka menatapku keheranan; sejak kapan cewek ini ada di situ? Mereka bahkan tidak menyadari ketika aku masuk tadi.
Aku berjalan cepat ke kelasku di lantai tiga. Saat sampai di puncak tangga, tanpa sengaja aku melihat ke arah kelas Zafran, dan di sana, di sudut tembok pembatas, duduk bersandar di tembok itu sambil melihat ke arahku; Zafran.untuk sesaat yang tak masuk akal, aku nyaris berharap melihat dia melambaikan tangannya kepadaku dan tersenyum, lalu menghampiriku. Tapi aku berbelok dan meneruskan langkah ke kelasku tanpa melihatnya lagi. perasaanku campur aduk.
Jadi karena itulah… dia pasti memintaku mengajarinya membuat cokelat untuk Tiffany yang akan ditembaknya itu. Aku nggak bisa bohong, aku sendiri sekalipun akan terharu jika melihat cowok seperti Zafran memberikan cokelat yang dia buat sendiri dan aku juga yakin, Tiffany pasti akan menerima Zafran. Aku mengempaskan diri di atas kursiku. Jadi aku sudah ketinggalan berita. Zafran pasti sudah putus dari sutradara film indie itu, dan lagipula siapa yang peduli ketinggalan berita semacam itu?
Aku mengingatkan diriku bahwa aku orang yang teralu cepat berharap. Sebelumnya, perasaanku terhadap Zafran hanya perasaan suka belaka, kagum karena kebaikan hati dan ketampanannya. Tapi aku sadar, aku jadi semakin tidak masuk akal setelah kebaikan yang dia perlihatkan kepadaku kemarin, rasa kagumku jadi membentuk semacam obsesi. Bukan urusanku dia mau berpacaran dengan siapapun juga, oke? Lagipula Tiffany memang cewek yang cantik; sejak kapan sih it girl nggak cocok bersanding dengan it boy? Dan Zafran sudah mengantarnya pulang dua kali pula…
Sial! Sial sial sial! Coba kalau aku nggak usah denger kata-kata cewek-cewek rese itu!
Coba kalau dia kemarin tidak bersikap begitu baiknya padaku…
Ketika aku menceritakan yang kudengar di kamar mandi kepada Adela, dia memandangku dengan prihatin dan membelai lembut bahuku.
“Udah deh, nggak usah ditanggepin serius. Lagian gosip-gosip murah-meriah kayak gitu harusnya nggak lo dengerin,” katanya.
Aku diam saja sambil menopang dagu. Aku mengangkat bahu.
Setelah diam cukup lama, Adela bertanya kepadaku, “Jadi… lo suka beneran sama dia?”
Aku meliriknya. Kukira dia sedang meledekku, tapi ternyata tidak. Adela masih menatapku dengan tatapan prihatin.
Aku mengangguk perlahan. Adela menghela napas keras.
“Cumi tuh si Zafran. Makanya gue mau ikut kalian berdua kemarin. Gue takut dia bikin lo salah artiin kebaikan dia. Dan gue juga nggak mau dia bikin lo kecewa kayak gini. rese banget sih, tuh orang!” ujar Adela.
Aku tersenyum kecut mendengar omelannya, tidak tahu harusnya merasa senang atau tidak. Setelah cukup lama, akhirnya aku berhasil menegakkan kepalaku dan memandang Adela, teman terbaikku.
“Ya udah lah. Salah gue juga sih, udah tahu dia orangnya emang baik, malah jadi ngarep,” kataku.
Adela menepuk bahuku.
“Sekarang lo mau ngapain?”
Aku mengangkat bahu lagi. “Ya… nggak gimana-gimana. Gue mau pulang lah.”
Adela tersenyum menyemangatiku. Kami berdua berdiri dari bangku taman tempat dari tadi kami berbicara; Adela mendengarkan curhatanku dan mengomeli Zafran di depanku untuk menghibur diriku. Kami berjalan ke gerbang sekolah. Nyaris tanpa komando, aku melirik parkiran dimana biasanya sebuah Cherokee hitam terparkir di situ. Mobil itu sudah tidak ada. Bagus. Setelah perasaanku tidak enak mendengar kata anak kelas dua tadi, aku mulai merasa Zafran menghindariku.
“Eh, itu… karyawan ayah lo kan?” kata Adela sambil menunjuk ke seseorang.
Aku mengikuti arah yang ditunjuknya. Ternyata memang benar, Mas Naven berdiri di sebelah motornya dan bersandar di pagar, jaket cokelat kesayangannya pasti membuat dia gerah dan dia terus celingukan memandang anak-anak yang keluar dari sekolahku. Aku melambai pelan dan dia menatapku. Mas Naven tersenyum. Aku menatap Adela.
“Gue duluan ya,” kataku.
Adela tersenyum manis sekali. Kadang-kadang aku merasa Milan terlalu sial mendapatkannya, tapi kadang aku berpendapat dia terlalu manis untuk Milan yang slengean. Aku berjalan cepat ke arah Mas Naven yang sudah menungguku, dan menyerahkan helm kepadaku sementara dia sendiri naik ke atas motornya. Aku naik ke boncengannya dan memakai helm, lalu menoleh dan melambai kepada Adela. Milan sekarang bergabung bersamanya.
“Kok Mas Naven jemput ke sini sih? Orang rumah pada kemana?” tanyaku ketika menyalakan motornya.
“Pak Wisnu lagi sama pelanggan di petshop, kakak-kakakmu pergi semua, jadi Mas yang jemput,” katanya.
“Ooh… Mas Nav jadi tukang ojek dadakan mulu ya, kasian. Nanti aku bilangin Ayah supaya nambahin gajinya Mas Naven,” kataku.
Dia tertawa.
“Eh, mau makan siang di rumah nggak? Aku masakin lho!” kataku tiba-tiba.
Aku mau berterimakasih kepada Mas Wisnu yang kubuat capek terus. Mas Naven tidak segera menjawab.
“Tenang aja, masakanku enak kok, tanya aja sama Ayah.”
Mas Naven masih belum jawab. Jalanan cukup ramai, jadi kubiarkan dia berkonsentrasi pada jalan dulu. Ketika kami sudah melaju di jalan yang agak sepi, aku bertanya lagi.
“Em… gimana ya?” katanya. Aku tidak tahu dia membodoh-bodohiku atau apa.
“Mas Naven udah janjian maka siang dengan orang lain ya? atau… Mas nggak mau makan siang sama aku?” kataku dengan suara sedih.
“Enggak kok… ya, nggak mungkinlah, Mas nggak mau nemenin kamu…” katanya.
“Jadi mau?” kataku sambil melonjak sampai-sampai motor Mas Naven oleng.
“I… iya, iya. Daripada kamu lapor sama Pak Wisnu…”
“Yeeeaaah!” Aku melonjak-lonjak lagi.
“Via… Vi, ini bukan di mobil ayahmu lho…”
Sejujurnya aku hanya butuh teman untuk mengobrol saja. Aku sudah mengenal Mas Naven cukup lama, bahkan aku sempat mengenal cewek yang dulu sempat dipacarinya. Dulu aku nggak habis pikir, kenapa kakak yang sangat cantik itu mau sama cowok kurus dan nggak menarik seperti Mas Naven. Tapi sekarang aku tahu alasannya; Mas Naven adalah laki-laki yang sangat baik dan menyenangkan. Dia juga selalu bertingkah apa adanya dan ahli dalam banyak bidang. Aku ingat Mas Naven pernah membantu kami sekeluarga membetulkan radio besar di perpustakaan kecil Ayah yang merupakan hadiah ulang tahun perkawinan pertama dari Bunda. Ayah sangat menjaga barang itu, makanya ketika Mas Naven bisa memperbaiki radio kuno itu, kepercayaan Ayah—dan kami semua—kepadanya jadi berlipat ganda.
Selain itu, dia juga orang yang humoris dan pemberani. Pernah ketika aku masih SMP kelas satu, ketika di halaman belakang rumah diadakan pesta barbekyu, Mas Naven diundang Ayah bersama dengan beberapa orang teman dekat Ayah yang punya anak yang dekat denganku dan kakak-kakakku juga. Waktu itu, enah bagaimana caranya dan darimana datangnya seekor ular seperti ular sawah masuk ke halaman tempat kami sedang asyik bercanda dan memanggang. Semua orang berlari ketakutan, kakiku mendadak lumpuh saking takutnya, tak mau bergerak. Waktu itu salah satu teman ayah mengambil golok untuk mencincang daging dan bermasud membabat ular itu karena ia merayap cepat ke arahku yang duduk membeku di bawah kursi taman. Tapi Ayah melarang temannya memancung si ular dan berusaha menjauhkan ular itu dariku. Saat itu ular besar itu tinggal dua meter jauhnya dariku, Mas Naven dengan cepat mengambil sebuah batang kayu dari dekat pohon dan memukul kepala ular berwarna hijau itu sehingga si ular terlihat pusing. Kemudian, Kak Bin datang tergopoh-gopoh menggendongku menjauhi ular yang sedang menggeliat pelan, sebelum akhirnya dimasukkan Mas Naven dengan berani ke kandang kosong hampir berkarat yang dulunya berisi anjing Siberian Husky. Orang-orang di sekelilingnya hanya bisa menjeritkan peringatan dan takut kalau ular itu tiba-tiba melilit tangannya.
Maka sejak saat itu, semakin tinggilah penghargaan Ayah kepadanya dan semakin kagumlah diriku akan kebaikan hatinya. usia Mas Naven saat itu pasti sekitar 25-an, karena kalau tidak salah dia sedang menyusun skripsinya, sama seperti Kak Bin. Bedanya, dia masih mengumpulkan bahan sementara Kak Bin tinggal menunggu “ACC” dari dosennya.
Sampai di rumahku yang teduh, aku mempersilakan Mas Naven masuk dan duduk di ruang keluarga, sementara aku langsung membuatkan minum untuknya dan diriku sendiri. Lalu aku naik ke kamar dan berganti baju dengan T-Shirt putih dan celana katun panjang hitam. Aku masuk ke dapur dan mulai memasak untuk kami berdua.
Masak apa sebaiknya? Aku ingin mengesankan Mas Naven dengan masakanku. Setidaknya sampai dia merasa terbayarkan karena sudah mengantarku pulang dua kali dalam dua hari terakhir. Aku mengolah dada ayam yang ada di kulkas menjadi katsu, lalu membuat sausnya sendiri dengan kecap asin dan manis serta jeruk nipis. Aku merebus sayur-sayuran dan meletakkannya dalam satu wadah. Aku mengeluarkan soba kuning dari kulkas dan kurendam dalam air panas. Kuahnyapun kupanaskan. Terakhir, kuletakkan nasi putih di atas piring; memang tidak persis seperti masakan di restoran Jepang, tapi kuharap dia suka.
Ketika Mas Naven duduk di hadapanku dan mencicipi makanannya, aku melihat wajahnya berubah sumringah.
“Enak lho!” katanya.
Aku menghembuskan napas lega melihatnya makan dengan semangat. Kasihan Mas Naven, dia pasti capek sekali. aku bersyukur dia menyukai masakanku. Namun ketika dia mencicipi kuah soba yang baru kupanaskan, kulihat alisnya sedikit berkerut dan senyumnya menjadi aneh.
“Kenapa, Mas?” tanyaku khawatir.
Sial! jangan-jangan ada yang nggak beres. Mas Naven memaksakan senyumannya.
“Nggak. Nggak kenapa-napa kok,” katanya dengan suara seperti tersedak.
Pasti ada yang salah. Aku mengambil sendok dan mencicipi sedikit kuah soba yang sudah kupanaskan.
Ya tuhan! Apa yang sudah kuberikan pada laki-laki baik hati ini?
Rasanya nggak keruan. Asem, pahit, basi! Aku meringis.
“Via, kayaknya… itu kuah empek-empek yang udah agak lama ya?” tanya Mas Naven pelan.
Bunda! Aku mau nangis! Aku meletakkan sendok dan cepat-cepat berkumur dengan air putih. Aku memunggungi Mas Naven. Aku nggak mau lihat dia. Apa yang sudah kulakukan? Meracuni tamuku? Kudengar Mas Naven bergerak di belakang, tapi aku terlalu malu bahkan untuk bicara. Ada yang menyentuh pergelangan tanganku.
“Udah, Vi, nggak apa-apa. Semua orang pernah keliu kok. Hahaha…” katanya sambil ketawa.
Dia mengajakku duduk lagi di sampingnya. Aku masih nggak berani menatapnya.
“Maaf, Mas…” gumamku pelan.
Dia masih tertawa kecil.
“Sebelumnya aku nggak pernah buat kekeliruan besar kayak gini kok, kalau masak,” kataku. Memang betul. Aku pernah masak lumpia Vietnam yang sedikit keasinan, tapi selebihnya seingatku, aku nggak pernah melakukan kesalahan fatal begini.
Mas Naven menepuk kepalaku pelan dan mengacaknya sedikit. Dia masih senyam-senyum. Gila, ini orang baik banget sih. aku saja nggak akan tahan kalau nggak cepat-cepat berkumur tadi. Dia malah ketawa-tawa, berkumur saja tidak! Aku tahu dia hanya menjaga perasaanku, tapi seandainya dia muntah-muntah dan bilang tidak mau makan masakanku lagi, aku juga nggak akan tersinggung kok, memang ini salahku.
“Yuk, makan lagi!” kata Mas Naven. “Kamu nggak makan?”
Aku menggeleng.
“Mas masih sanggup makan? Aku aja udah nggak selera lagi,” kataku sambil memberanikan diri sedikit untuk menatapnya.
“Ya… masih lah. Masakan seenak ini jarang Mas makan. Mas sih, paling ya… nasi uduk, mentok-mentok ayam bakar,” katanya. “Makanan begini sih, udah sama dengan traktiran di restoran Jepang…”
“Masa? Mana ada restoran Jepang yang ngeracunin pelanggannya?” kataku.
“Cuma masalah seujung kuku ini. Selain kuahnya, yang lain enak banget kok. Kamu coba dong, makanya…”
Ketika aku masih nggak bergerak, dia menarik piringnya lagi.
“Kalau gitu Mas makan lagi ya? laper nih…” katanya.
Aku mengangguk pelan. Tiba-tiba sepotong katsu yang ditusuk garpu nongol di depanku. Aku mengangkat wajahku dan melihat Mas Naven; dia malah tersenyum lebar sambil mengangkat-angkat alisnya dengan konyol.
“Buatku?” tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri.
“Kamu harus coba,” katanya.
Dia menyuapiku katsu itu. Enak sih.
“Nasinya dong…” kataku.
Dia tertawa, lalu menyuapiku nasi dengan sendok. Makanan yang tadinya spesial buat Mas Naven akhirnya ikutan kujarah. Toh dia nggak keberatan, hehehe…
Ketika kami berdua hampir menyelesaikan makan siang spesial yang jadi super spesial—karena pakai acara suap-suapan, kayak orang sakit dan susternya—bel pintu depan berbunyi.
“Sebentar ya, Mas. Aku lihat dulu ke depan,” kataku.
Mas Naven mengangguk.
“Jangan lama ya! ntar keburu abis!”
“Siip!”
Aku berjalan ke ruang tamu dan membuka pintu. Siap yang bertamu jam-jam segini? Tukang kredit? Ketika pintu terbuka, aku hampir tersedak.
Zafran berdiri di depan pintu rumahku dengan pakaian rapi sambil membawa sebuah bungkusan dan sebuket bunga lily putih.
Gosh.
Hening…
Masih hening…
“Hai,” sapanya sambil tersenyum manis.
Aku sudah lupa bagaimana cara membalas sapaannya, lagipula mataku masih terpaku pada dua benda di tangannya.
“Em… “Dia bergerak gelisah,”… Aku nggak… Kamu… lagi sibuk ya?” katanya.
“Oh!” Suaraku sendiri terdengar seperti suara orang lain. “Oh… nggak kok. Kenapa?”
Kenapa dia memanggilku ‘kamu’?
“Aku…” Dia menghela napas pelan,”… Pertama-tama, aku mau kasih ini dulu buat kamu,” katanya sambil memberikan bunga itu.
Siapa yang memberitahunya aku suka bunga lily?
“Makasih,” ucapku pelan.
Aku ragu-ragu, apa seharusnya kusuruh dia masuk, lalu membuatkan minum? Karena dia diam saja, aku pun memutuskan menyuruhnya masuk saja. Lagipula kan di dalam ada Mas Naven.
“Masuk deh. kita ngobrol di dalem aja ya? di luar panas,” kataku. Alasanku lemah sekali karena matahari pun tidak nampak.
Zafran mengangguk, dan masuk setelah aku masuk—seperti biasa. Aku tidak menutup pintu, sebenarnya aku juga ragu harus menutupnya atau tidak, jadi kubiarkan saja terbuka.
“Mau minum nggak? Gue bikin dulu ya?” kataku setelah dia duduk di sofa.
Aku langsung menyesal begitu menawarinya. Aku takut nanti membuat kekonyolan seperti yang kulakukan pada Mas Naven. Untung dia menolaknya.
“Nggak usah deh, Vi. Aku nggak lama kok,” katanya.
“Oh…” Aku nggak tahu seharusnya senang atau tidak dia tidak akan lama. Aku duduk agak jauh darinya. Tidak terlalu jauh juga sih, maksudnya kami nggak duduk ujung-ujungan sofa, tapi nggak dekat juga. Bunganya aku letak di sampingku. “Ada perlu apa sih kesini? Tumben… sampai bawa bunga segala,” kataku, berusaha agar suasana tidak teralu tegang dan suaraku terdengar seolah-olah cowok yang membawakan bunga ke rumah seorang cewek—yang menyukainya—adalah hal biasa sama sepereti kalau mereka mau mengerjakan proyek Biologi bersama.
Syukurlah, dia tertawa.
“Em, iya nih, aku… Aku nggak kebetulan lewat sih. sebenarnya ada yang mau aku bicarakan sama kamu,” katanya, dengan suara yang lebih mantap.
“Oh… ya? Apa?” tanyaku. Bahkan ketika mengatakannya, jantungku sudah terpompa beberapa kali lebih cepat daripada biasanya.
“Aku… mau nanya pendapat kamu,” katanya.
“Oke… soal apa?” Ini anak kenapa ngulur-ngulur pembicaraan sih?
“Soal…” katanya menggantung ucapannya. Dia menghela napas lagi, “… soal kita berdua.”
Kita? Berdua? Maksud lo?... kata suara di hatiku. Menurut lo?... kata suara di kepalaku.
“Yah… emangnya, kita kenapa?” kataku mencoba terdengar seakan tidak mengerti ucapannya. Ini tidak terlalu bohong; sebagian diriku memang belum mengerti apa yang dia bicarakan.
“Aku…” gumamnya. Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. Sialnya, dia juga sedang melakukan hal yang sama.
Sedetik… dua detik… sepertinya sudah beberapa jam berlalu—apa sudah seharian ya?—ketika dia akhirnya mengucapkan enam kata itu.
“Via, kamu mau nggak jadi pacarku?”
Tuhan. Ini bukan sinetron remaja kan? Jadi kenapa adegan ini ada di sini?
Aku tidak bisa memikirkan apa yang seharusnya kukatakan. Melihatku diam, dia berdeham, dan aku terlonjak. Aku yakin dia tidak bermaksud mengagetkanku. Zafran menyerahkan sebuah kotak berwarna putih berukuran sedang yang terikat dengan pita berwarna merah.
“Ini… buat kamu.”
Aku mengambil kotak itu. Apa dia mengharapkanku membukanya di sini? Tentu saja dong, memangnya yang dia berikan ini kado ulang tahun, yang seharusnya dibuka sendirian?
“Gue buka ya,” kataku sambil tersenyum—dengan susah payah. Dia mengangguk.
Aku mengurai pitanya dengan hati-hati supaya tidak rusak, aku berencana menyimpannya di meja belajarku nanti. kubuka penutup kotaknya perlahan.
Jreng…
Cokelat-cokelat berbentuk boneka beruang dan amplop surat berstempel hati dengan berbagai warna yang begitu cantik balas menatapku dari dalam kotak.
Aku menatapnya, lalu memandang Zafran dengan tatapan tidak percaya.
“Ini…” Aku tidak menyelesaikan kata-kataku. Aku nggak tahu apa yang harus kukatakan.
“Yap. Itu cokelat yang kubuat kemarin. Kamu masih ingat yang itu nggak?” katanya sambil menunjuk sebuah cokelat beruang putih yang terletak di tengah, dengan bunga berwarna pink yang dipegangnya.
Aku tertawa.
“Ya ampun… ini kan, cokelat pertama yang lo bikin? Ya kan?” kataku. Ampun, aku masih saja memanggilnya ‘lo’.
Dia mengangguk sambil tersenyum lembut.
“Dicoba dong,” katanya.
Setelah melihatnya, dan mendapat anggukan, aku mengambil cokelat beruang pertamanya itu. Kugigit kepalanya, dan cokelatnya lumer di mulutku. Potongan stroberi yang dia tambahkan kemarin terasa manis di lidahku.
“Enak lho…” kataku sambil tersenyum.
“Kan kamu yang ngajarin,” katanya.
Aku tersipu malu. Hei! Masa aku jadi kayak tokoh sinetron begini?
“Via…” panggilnya.
“Ya?”
“Gimana pendapatmu?”
Aku tertegun. Aku lupa pokok masalah utamanya. Hei, tunggu! Siapa bilang itu masalah?
“Kalau…?” kataku—seperti dia—mencoba mengulur.
“Kalau… kita jadian,” katanya kalem.
Dia terlihat jauh lebih rileks setelah aku mencicipi cokelatnya. Sementara aku jadi lebih tegang.
“Em… gue…” Aku masih belum bisa mengatakannuya dengan benar.
Tunggu dulu. Kok ada yang aneh?
“Tunggu dulu… Bukannya lo mau nembak Tiffany?” tanyaku kebingungan.
Dia terlihat lebih bingung lagi.
“Tiffany? Anak IPA 3?” tanyanya.
Yah… Dia kira aku kuper, sampai harus menyebutkan kelasnya.
“Iya. Bukannya lo mau nembak dia?” kataku mengulang pertanyaanku.
“Kata siapa?” katanya dengan nada heran.
“Kata… kata anak-anak…” kataku dengan suara lebih melemah.
“Anak-anak siapa?”
Aduh, ini orang.
“Ya, anak-anak! Anak-anak sekolahan. Mereka pada ngeliatin lo nganterin Tiffany pulang dua kali, terus semuanya berasumsi, kalau lo bakalan nembak dia sebentar lagi…”
Ya udah lah. Sudah kepalang basah, sekalian saja dia tahu aku ikut mendengarkan gosip-gosip tentang dirinya.
“Yah… itu kan asumsi mereka. Kamu percaya?” katanya dengan alis terangkat sebelah.
“Yah, mau nggak mau. Emangnya gue punya pilihan?”
“Ya punya dong. Kamu bisa percaya aku,” katanya. Giliranku mengangkat alisku. “Rumah Tiffany searah denganku. Dia ikut nebeng karena supirnya nggak jemput.”
“Wah, kalo gue… nggak dijemput mah, naik angkot aja!” celetukku.
Dia tertawa lagi.
“Ya… itulah. Jadi jangan dengerin kata orang. nggak mungkin aku mau nembak Tiffany,” katanya.
“Kenapa? Tiffany cantik,” sahutku. Lho? Kenapa aku yang ngotot.
Dia memandangku aneh.
“Manusia kan nggak cuma tampang, Vi. Lagian…” katanya sambil tersenyum kecil kepadaku,”… Aku kan suka kamu.”
Bletak! Dor! Dor! Dor! Kudengar jantungku memberontak ingin keluar dari rongganya. Aku yakin mukaku sudah semerah pita hias di tanganku ini sekarang.
“Gimana aku tahu kamu nggak bohong? Kamu nggak bercanda?” kataku pelan. Entah mengapa, perasaan khawatir tiba-tiba melandaku.
“Kamu bisa percaya aku,” katanya mengulangi ucapannya beberapa saat yang lalu. “Lagipula, kupikir kado ulang tahun dariku tahun lalu udah ngasih tahu kamu perasaanku… sesunggunya.”
Aku menatapnya bingung sekaligus tercengang. Memangnya dia memberiku kado ulang tahun?
“Yang… mana, yah?” kataku dengan begonya.
“Lho? Jadi kadonya nggak sampai ke kamu?” kata Zafran yang ikut kebingungan.
“Nggak. Maksud gue, kalau emang iya, kayaknya gue nggak tahu hadiah lo yang mana.”
“Aku kasih kamu cokelat waktu itu. Dengan pita merah seperti ini,” katanya.
Cokelat? Pita merah? Aku mencoba memeras ingatanku. Ya Tuhan, aku benar-benar pelupa.
“Gue bener-bener nggak bisa inget, Zaf. Sori…” ucapku pelan.
Aku melihat wajah Zafran sedikit kecewa.
“Oh… ya udah lah. Mungkin nggak sampai ke kamu,” kata Zafran.
Aku merasa bersalah. Padahal, ini bukan salahku kan? Seingatku memang nggak ada hadiah dari Zafran dan kalau memang hadiah itu tidak sampai, ya salah si kurirnya dong.
“Vi, kamu sudah bisa jawab pertanyaanku yang tadi?” kata Zafran tiba-tiba.
Aduh. Lagi-lagi… Aku masih terdiam.
“Ka… kalau kamu nggak bisa jawab sekarang… juga nggak apa-apa kok. Aku cuma pingin… kamu tahu. Kalau aku udah lama suka sama kamu. Dan kemarin, waktu kita belanja sama-sama, makan, rebutan tape di mobil, dan semuanya itu, aku seneng banget. Aku seneng kita bisa jalan berdua seperti kemarin…” katanya.
Aku tersenyum kecil. Kamu nggak tahu, Zaf, kalau aku juga bener-bener senang dan nyaman berada di dekatmu…
“Pikirkan dulu ya, Via. Aku pingin kita bisa sama-sama mengerti perasaan kita satu sama lain. Karena aku suka kamu…”
Tiba-tiba terdengar bunyi berkelontangan dan gedubrukan dari dalam rumah. Aku menoleh cepat ke ruang tengah, namun tidak melihat apa-apa. Jangan-jangan Mas Naven…
Aku berdiri dan berjalan cepat ke ruang makan. Zafran ragu-ragu, tapi dia juga mengikutiku di belakang. Di dalam dapur, aku melihat Mas Naven basah kuyup di bagian baju dan celananya, terduduk di lantai dan peralatan masakku berserakan di sekelilingnya. Di atas semua itu, telapak tangannya berdarah dan pisau berlumuran darah merah pekat tergeletak di sampingnya.
“Mas!” jeritku pelan. Aku mendekatinya dan membantunya berdiri.
Mas Naven mengaduh pelan saat kutarik berdiri.dia memegangi bagian belakang kepalanya. Aku menoleh putus asa kepada Zafran.
“Bantuin dong!” kataku.
Zafran seperti tersadar dan segera memapah Mas Naven, dan kami berdua membantunya duduk di kursi makan. Aku panik. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan. Aku takut melihat darah di tangan Mas Naven. Aku lebih takut lagi melihat pisau yang masih tergeletak di lantai.
Zafran yang bergerak duluan. dia mengambil baskom di rak piring dan mengisinya dengan air hangat dari keran. Diletakkannya di meja makan dan Mas Naven merendam tangannya di situ. Dia tidak mengaduh lagi, tapi aku tahu pasti masih sakit. Aku mencari-cari kotak P3K di lemari dapur, tapi tidak ada. Harusnya ada… Dan aku baru ingat Kak Bin memakainya tadi malam untuk mengobati Kak Ben. Aku mengambilnya di coffee table di ruang tamu, dan segera kembali untuk mengobati Mas Naven.
“Mas… kok bisa gini sih?” tanyaku sambil membersihkan lukanya dengan kapas.
Kukeringkan daerah di sekitar telapak tangannya, dan kusemprotkan disinfektan.
“Hehe… tadi Mas nggak sengaja nyenggol pisau di wastafel, eh semuanya jadi jatuh begitu. Mas jadi kepeleset, untuk nggak ketusuk pisau lagi.” Dia tertawa.
Aku menatapnya heran. Apa dia memang punya kelainan jiwa, atau apa, tapi kenapa dia terus tertawa di saat yang tidak seharusnya? Aku tidak berbicara lagi melainkan melanjutkan mengobati luka Mas Naven. Tanganku gemetaran karena masih shock.
“Vi,” ujar Zafran. Tangannya memegang tanganku yang gemetaran. Aku memandnagnya. “Biar aku aja yang balut lukanya. Kamu tenangin diri kamu sendiri dulu.”
Aku menatap Mas Naven yang balas menatapku, dan memberikan senyum kecil menenangkan. Zafran mengambilkan air putih untukku dan mebelai pelan puncak kepalaku…
“Via!” sebuah suara tajam memanggil namaku dari pintu dapur.
Aku menoleh, begitu juga Mas Naven dan Zafran. Kak Bin berdiri di pintu dapur, tangannya masih berada di gorden kecil yang berada di ambang pintu yang dia singkap untuk melihat ke dalam dapur. Di belakangnya muncul Kak Ben dan Kak Bon. Aku merasakan tangan Zafran meninggalkan kepalaku dan aku tahu dia juga terkejut, sama sepertiku.
”Lo siapa?” Kali ini siapa lagi kalau bukan Kak Bon. Dia memandang Zafran.
Apa-apaan sih mereka? Aku memandang Zafran untuk melihat reaksinya. Bahkan sebelum Zafran sempat menjawab, Kak Ben menyela.
“Kenapa kamu mengizinkan dia masuk ke sini? Kamu nggak tahu nggak satupun keluargamu ada di rumah ini?” kata Kak Ben kepadaku.
Kepalanya masih diperban, dan belum apa-apa, aku sudah merasa ingin menambah perbannya lagi.
“Di dalam rumah ada Mas Naven, dan kupikir dia keluarga kita juga…”
“Lo siapa?” Kak Bon menyela dan ngotot sambil tetap memandang Zafran. Dia maju melewati Kak Bin dan Kak Ben, ekspresinya seperti ingin menghajar Zafran saat itu juga.
“Saya Zafran…”
“Siapa? Lo temen Via?” potong Kak Bon.
Kupikir Kak Bon masih merasakan luka ospek yang mendalam sampai mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
“Iya! Dia temenku. Terus kenapa?” kataku sedikit menantang. Aku berdiri dari kursi ke samping Zafran yang berdiri salah tingkah. Dari sudut mataku, kulihat Mas Naven menunduk sambil memegangi tangannya.
“Kamu nggak boleh bawa laki-laki masuk rumah sembarangan, Dik, kalau kami saja nggak kenal orangnya. Apalagi kamu bawa ke dapur kita,” kata Kak Bin.
“Tadinya kami sedang ngobrol di ruang tamu, tapi Mas Naven luka, dia kena pisau. Memangnya kalian pikir, kalau bukan Zafran, siapa yang bisa membantuku? Kalian kan tahu aku nggak mungkin menangani Mas Naven sendirian…” Kurasa sebentar lagi aku akan menangis.
“Ngapain lo ke sini? Dan bunga ini?” Dengan pandangan ngeri, kulihat Kak Ben mengangkat buket bunga tulip yang baru kusadari dipeganginya sejak tadi. “Dan ini? Apaan nih? Lo mau ngegoda adik gue?” katanya pedas sambil melempar kotak cokelat ke lantai di depannya.
Cokelat-cokelat yang telah susah-payah dibuat Zafran berserakan di lantai. Aku menatap Kak Ben tidak percaya. Keluarga macam apa sih mereka?
“Kalian nggak berhak memperlakukan Zafran kayak gini. dia orang baik-baik!” seruku hampir menjerit.
“Kamu nggak bisa tahu cowok macam apa dia sebelum kami mengenalnya. Dan kami belum mengenalnya. Walaupun aku jarang di rumah, tapi Bin dan Bon juga nggak tahu siapa dia. Siapa dia? Pacarmu? Kamu udah berani pacaran tanpa sepengetahuan kami?” kata Kak Ben dengan nada dingin paling menusuk hatiku.
“Iya! Kayak kalian kan! Memangnya kalian pikir kalian itu cowok macam apa? Kalian sebut diri kalian kakakku?! Aku bahkan nggak mau kenal kalian!” teriakku.
Aku menghentak pergi sambil menyeka air mataku. Aku naik ke kamarku dan tidak berhenti sebelum membanting pintu kamar menutup dan menguncinya. Aku menangis sejadi-jadinya dan melempar gulungan perban yang masih kudenggam sejak tadi.
Aku benci mereka! Kenapa aku punya kakak-kakak yang begitu menyebalkan seperti itu? Sekarang aku tidak tahu apa yang dipikirkan Zafran. Dia pasti membenciku.
Aku benci mereka!
Aku melempari foto kakak-kakakku dan aku yang tergantung di dinding dengan bantal. Aku menutup mukaku dengan bantal yang lain sambil menangis. Kenapa Ayah tidak mengajari mereka sopan-santun? Kenapa Bunda tidak mendidik mereka dengan benar?
Kudengar suara Kak Bon mengetuk pintu kamarku dna memanggilku.
“Aku benci kalian. Aku ingin kalian terjun ke laut dan dimakan hiu!” jeritku.
Aku menutup telinga karena tidak mau mendengarkan kata-kata yang diucapkan Kak Bon. Aku tidak akan mau lagi berbicara dengan mereka sampai mereka memperbaiki semua bencana ini.

Click Here to Read More..

BAB 2.

Posted By Ri

BAB II
Gentleman dan Cherokee Hitam


“Wow! Coba lihat siapa yang baru gajian,” kata Kak Bin.
Aku nyengir dan menatap lembaran-lembaran biru di tanganku dengan puas.
“I love you, Ayah!” ucapku senang sambil mengecup pipi Ayah. Ayah hanya tertawa.
Gajiku, gaji pertamaku. Hm, aku baru mengerti ungkapan “wangi udara saat hari gajian”. Kumasukkan kertas-kertas mulus I Gusti Ngurah Rai dan Danau Beratan, Bedugul itu ke dalam dompetku dengan hati-hati. Terdengar bunyi klakson tiga kali, yang berarti Kak Bon tidak mau berlama-lama melihatku memamerkan gaji pertamaku itu.
“Aku pergi dulu yaaa!” seruku berpamit pada Ayah dan Kak Bin, lalu bergegas menghampiri Kak Bon yang cemberut dan mengantuk di mobil.
“Let’s go, Bos!” kataku sambil memasang safety belt.
“Besok-besok, kerja yang bener. Jadi nggak cuma dapat segitu,” gumamnya, lalu menjalankan mobil.
Aku nyengir. Aku tahu dia masih sebel karena akulah yang mendapat kontrak kerja dengan Ayah kemarin. Tape diputar dan mengalunlah lagu Maliq and d’Essential, band favorit Kak Bon. Untuk menghargai perasaannya yang mungkin masih terluka, aku tidak mengganti lagu itu.
Baru sepuluh menit mobil melaju di jalan, Kak Bon terpaksa harus memutar balik. Aku kelupaan proyek Biologiku yang masih berada di meja belajar. Ketika aku kembali ke mobil (sambil ngos-ngosan karena berlari sekencang-kencangnya), musik sudah berganti dengan HIV-nya Netral. Alis Kak Bon hampir menyatu saking berkerutnya dan dia pasti akan mengomel atau membentakku kalau aku buka mulut sedikit saja. Ketika sampai di jalan yang sama, kendaraan sudah mulai ramai dan Kak Bon harus mengeluarkan seluruh kepiawaiannya untuk menyalip-nyalip segala rupa kendaraan di sekeliling kami. Heran, apa nikmatnya sih seribu orang ini mengendarai mobil masing-masing satu dan di pagi hari pula. Lama-lama Jakarta harus buat jalan layang yang bisa nembus gedung lagi, kayak di Jepang, biar cepet.
Ketika sampai di sekolah, aku mengucapkan terima kasih plus maaf kepada Kak Bon dengan terburu-buru, lalu bergegas lari ke arah gerbang sekolah yang hampir tutup. Pak Mus, si satpam sekolah yang wujud rupanya mirip upil; kecil, item dan ngeselin, mengawasi jam tangannya dengan cermat, menghitung detik-detik sebelum dia harus menutup gerbang sekolah. Tanpa belas kasih, tanpa pamrih, nyaris tanpa kemanusiawian. Untungnya aku termasuk lima manusia dan satu mobil beruntung yang berhasil lolos pada detik-detik terakhir sebelum geretekan pagar diakahiri dengan bantingan cukup keras dan suara gerendelan pagar. Terus saja setiap hari seperti ini, dan bentuk tubuhku akan mengalahkan Hale Berry. No more fitness, boro-boro diet.
“Via!” panggil seseorang.
Aku menoleh, mencari-cari orang yang memanggilku. Ternyata Zafran, teman sekelasku dulu saat kelas satu SMA, tapi sekarang beda kelas. Dia di XII IPA 2, dan aku di IPA 5. Dia tidak kelihatan berkeringat, atau ngos-ngosan, yang pasti tampangnya tidak mungkin lebih parah daripadaku sekarang ini; berkeringat dan rambut yang berantakan. Dan aku baru ingat; tentu saja, dia kan bawa mobil.
“Lolos juga ya?” tanyaku. Dia membarengi langkahku menuju kelas.
“Iya. Less minute,” katanya. “Parah banget deh, si Mus. Kalau nggak inget udah kelas tiga, gue ciumin dia sama moncong mobil gue,” katanya sambil menunjuk Cherokee hitamnya di parkiran.
Aku tertawa. “Pasti lo susah nahan dirinya.”
Dia nyengir dan membantuku naik di undakan yang agak tinggi. Sebenarnya itu tidak perlu.
“Thanks, tapi aku bisa sendiri kok,” kataku.
Zafran melihatku lalu mendengus tertawa.
“Masih sama aja kayak dulu. Pantang banget sih, dibantu,” katanya.
“Yah, nggak gitu juga sih…”
Zafran bukan cowok sembarangan. Dia laki-laki baik hati yang ganteng juga kaya raya, tipikal tokoh utama laki-laki dalam novel remaja. Yang aku suka darinya, dia selalu bisa mencairkan suasana sehingga tidak ada cewek yang merasa jelek jika berada di dekatnya. Aku nggak tahu kebenarannya tapi menurut gosip yang sempat beredar, pacarnya sekarang adalah sutradara film-film indie yang cukup terkenal.
“Eh, masih suka bikin cokelat nggak?” katanya tiba-tiba saat kami menyusuri koridor dan sebentar lagi akan berpisah karena kelas kami terletak cukup berjauhan.
Aku memandangnya keheranan. Bagaimana dia masih bisa ingat? Dulu pernah ada festival di sekolahku ketika aku masih kelas satu, dan kelas kami direncanakan untuk menjadi booth cokelat. Aku yang memang sejak dulu hobi membuat cokelat dianugerahi tugas mahapenting, jadi Master Koki. Hampir semua cewek di kelasku berebut ingin menjadi waitress dan menghidangkan cokelat panas atau smoothie cokelat atau sekedar menjaga stand air mancur cokelat dan lollipop, karena seragam waitress-nya sangat lucu dan keren. Percaya atau tidak, saat itu. Satu-satunya sukarelawan yang mau menjabat sebagai asisten Master Koki hanyalah Zafran… dan Adela sahabatku tentu saja karena aku mengancam dia tidak boleh mencicipi cokelat kalau tidak membantu. Saat itu juga aku sempat menolak niat Zafran yang sangat mulia untuk membantuku, karena bagaimanapun juga, dia jauh lebih hot jika memakai seragam waiter daripada celemek bunga-bunga milik Adela.
“Masih. Tapi udah jarang sih. Emangnya kenapa?” kataku.
“Nanti ke kantin kan? Gue tunggu di sana ya, ada yang mau gue bicarain,” katanya sambil tersenyum kecil. Dia lalu melambai dan berjalan ke kelasnya.
Kata-katanya itu membuatku terbengong-bengong sampai ke kelas. Bahkan saat Adela menyerempet bahuku dan mengacung-acungkan Cadburry Blackforest ke depan hidungku.
“Ini, buat sarapan lo!” katanya dengan nada riang.
“Eh, iya. Makasih.”
Adela tampak memperhatikanku.
“Lo kenapa? Bete?” katanya sambil duduk di sampingku.
“Nggak kok.”
“Sakit?”
“Apaan? Nggak lah…”
“Kok bengong?”
Aku nyengir.
“Nggak ada apa-apa kok.”
Sepertinya aku nggak cukup berhasil meyakinkannya, tapi yang penting dia berhenti menanya-nanyaiku dan mulai mengoceh tentang tugas Biologinya yang basah nyemplung ke kolam ikan tadi pagi. Ini jadi memberiku waktu untuk berpikir soal apa yang kira-kira akan dibicarakan Zafran di kantin nanti, dan menimpali cerita Adela dengan kata-kata penghiburan standar dan menyalah-nyalahi kolam ikan serta pembantunya yang menyenggolnya.
Ketika jam Biologi selesai dan semua tugas (kecuali tugas Adela) sudah dikumpul, aku berjalan keluar kelas bersama Adela yang merunduk-runduk sembunyi di sampingku agar tidak kelihatan Bu Ami, guru Biologi kami. Setelah sampai di bawah, baru Adela kelihatan agak lega dan berjalan tegak lagi.
“Nggak usah makan yuk! Kita ke ruangan klub fotografi aja. Gue mau ketemu Milan nih!” katanya tiba-tiba.
“Eh… aku…” Gimana nih? “Aku laper banget nih. Ayo dong, ke kantin aja. Orang yang lebih mentingin pacar daripada temen bakal dikutuk lho…” kataku ngeles.
Adela kelihatan kecewa. “Yah…”
“Ya? Iya dooong, lo kan sobat gue…” bujukku.
“Ya udah deh, gue SMS Milan dulu,” kata Adela akhirnya.
Yes!
Aku dan Adela berjalan sambil mengobrol ke kantin. Aku hanya menimpali sesekali saja, namun pikiranku sudah tiba lebih dulu di kantin dan menerka-nerka apa yang akan Zafran katakan. Atau jangan-jangan dia berubah pikiran dan waktu aku sampai di sana, dia nggak ada? Waduh, pikirku, kenapa aku jadi mikir yang aneh-aneh begini?
Tapi sesuai janjinya, ketika aku dan Adel masuk ke kantin, Zafran melambai kecil dari sudut kantin yang sejuk dan dekat taman sekolah.
“Eh, itu Zafran kan? Ngapain dia ngeliat-liat ke sini?” tanya Adela kebingungan.
Aku menggapai tangannya, dan menariknya ke meja tempat Zafran duduk sendiri.
“Em, sebenernya gue ada perlu sama dia di sini, jadi…”
“Ooh, bukan karena laper ternyata? Karena janjian sama cowok cakep toh…” kata Adela usil.
Aku memutar bola mata.
“Orang yang lebih mentingin pacara ketimbang temen bakal dikutuk lho…”
“Jangan ngaco,” tukasku.
“Hai,” sapa Zafran.
Aku duduk di depannya dan Adela duduk di sampingku, tampangnya setengah cemberut, setengah menggoda. Sesaat aku bingung, apa harus aku yang memulai pembicaraan dengan Zafran? Kan dia yang punya perlu. Sebelum aku memutuskan atau bahkan membuka mulut, Zafran ternyata berinisiatif duluan.
“Lo laper?” tanyanya.
“Ha?” Aku kebingungan. Dia mengajakku ke sini buat ngeliatin aku makan?
“Ya iyalah, si Via ini, laper banget katanya…” tahu-tahu Adela menyela.
Aku menginjak kaki Adela di bawah meja.
“Ng… nggak juga kok. Hehe…” kataku.
Zafran tersenyum.
“Gue laper nih. Lo laper nggak, Del?” tanya Zafran.
Adela tentu saja langsung menyambar pada kesempatan pertama. Inget… kamu punya Milan, Del… batinku. Mana mungkin Adela melewatkan kesempatan diajak makan oleh cowok secakep Zafran. Ups!
“Iya nih. Tapi sayangnya gue lagi bokek. Hehe… tadi juga rencananya nggak mau ke kantin, tapi Via bilang udah jan…egh… aw… janjian ama lo di sini, makanya… aw… Apa sih, Vi?” kata Adela rese.
Aku mendengus keras. Adela sialan. Begitu keluar dari kantin, akan kulaporkan kealpaannya mengumpulkan proyek kepada Bu Ami.
“Vi, makan dulu yuk. Gue nggak bisa konsen ngomong ke elo kalau perut gue lagi kosong,” kata Zafran.
Eh?
“Eh… terserah lo deh.”
Akhirnya aku, Adela dan Zafran memesan gado-gado dan es jeruk—pengecualian buat Adela yang memesan jus alpukat karena dia ditraktir Zafran. Aku makan dengan perasaan campur aduk, bingung, kesel, dan penasaran diaduk-aduk sama rata di otak ku.
Zafran selesai duluan. Dia menyueruput es jeruknya sebelum memulai pembicaraan denganku.
“Via, soal yang mau gue bicarain…”
Aku mengangkat kepala agak cepat dan memandangnya. Buru-buru kulap mulutku dengan kertas serbet berwarna kuning. Adela ikut mendengarkan, padahal aku ingin dia melanjutkan saja makannya.
“Gue mau minta tolong sama lo,” kata Zafran.
“Minta… tolong? Tolong apa?” kataku.
“Lo masih suka buat cokelat kan?”
Aku mengangguk.
“Tolong ajarin gue buat cokelat dong,” kata Zafran.
Ha?
“Buat apa?” tanyaku.
Zafran tidak menjawab. Tiba-tiba aku sadar. Mungkinkah buat pacarnya? Sepertinya dia sedang menyiapkan surprise untuk pacarnya yang super keren itu dan dia memintaku mengajarinya membuat cokelat, supaya dia bisa mempersembahkan cokelat buatannya ke pacarnya tercinta itu. Dasar cowok! Kenapa dia nggak minta sama ibunya saja sih?
“Bisa nggak, Vi?” tanyanya, kali ini dengan suara pelan.
Aku menghela napas sambil menimbang-nimbang. Nanti ilmuku pasti akan dia pakai untuk ngegombalin cewek itu.
“Vi?”
Aku menghela napas lagi. Kali ini lebih lambat.
“Nggak bisa ya?” ucapnya bahkan lebih pelan dari sebelumnya.
Aku jadi iba. Ya sudahlah, kalau memang dia begitu inginnya menyenangkan hati pacarnya…
“Apa boleh buat,” kataku sambil mengangkat bahu.
Kulihat Zafran tersenyum senang.
“Nanti temenin gue beli bahan-bahannya dulu ya. terus kita buat di rumah gue,” katanya.
What?
“Sekarang? Hari ini juga?” kataku.
Dia mengangguk. Oh, sialan…
“Kalau gitu gue ikut!” sabda Adela tiba-tiba.
Oh, double-sialan…


“Yah, Ay. Kamu gimana sih? Aku kan udah keburu ada janji sama Via dan Zafran,” kata Adela dengan suara merengek.
Aku dan Zafran bertukar pandangan. Adel memasang tampang cemberutnya.
“Ya udah, iya, iya… Iya, aku ke sana sekarang,” katanya, lalu mematikan handphone-nya.
Dia memandang Zafran dengan pandangan minta maaf.
“Zaf, sori ya. Gue nggak bisa ikut, Milan minta ditemenin ke galeri bokapnya,” kata Adela. Lalu dia memandangku,”Sori ya, Beibh. Gue cabut dulu.”
“Eh, tunggu…”
Tapi Adela langsung pergi dan melambaikan tangannya, meninggalkan aku dan tanganku yang setengah terangkat. Beberapa detik hanya diisi keheningan, sampai Zafran menepuk bahuku pelan.
“Yuk, kita belanja,” katanya.
Aku akhirnya tidak punya pilihan lain selain mengangguk dan masuk ke dalam Cherokee-nya. Dia yang membukakan pintu untukku, seperti layaknya gentleman yang kulihat di film-film. Di dalam mobil Zafran memulai percakapan ringan, seperti yang selalu dilakukannya pada setiap orang terutama cewek, untuk mencairkan suasana. Zafran benar-benar laki-laki yang sopan dan menyenangkan, dan aku heran karena diriku sendiri lambat menyadari bahwa bahuku sudah lebih turun dan rileks sementara kami berdua menertawakan Pak Mus yang baru saja diomelin seorang ibu-ibu gembrot yang membawa sayuran.
Jeda diam yang ada kupergunakan untuk memperhatikan interior mobil Zafran. Inilah mobil laki-laki yang seharusnya. Desain interior mobilnya benar-benar khas laki-laki dengan dominasi warna hitam dan merah marun, dan aku mencium wangi di dalam mobil yang nyaris sama dengan wangi parfum yang sering diam-diam kuhirup dari tubuhnya jika kebetulan aku berada di dekatnya. Aku hafal betul wanginya, bahkan sekalipun bajunya ditanggalkan dan dilempar ke tumpukan baju-baju anak cowok yang lain, aku yakin masih bisa mengidentifikasikan wanginya.
Zafran menghidupkan tape-nya. Sesaat kukira alunan musik jazz atau setidaknya indie yang akan terdengar. Cherokee hitam, desain luks bernuansa hitam, wangi khas Zafran, tak ada yang bisa membuatku nyaman lebih dari ini selain musik jazz sebagai pelengkap.
Aku keliru besar. Segera saja terdengar olehku musik rock-alternative yang lengkap dengan screamo-screamo-nya, menggetarkan jok kulit yang kududuki. Aku menoleh dan melihatnya mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti irama lagu yang membuat suara jantungku terdengar sampai ke otak.
“Apaan nih?” kataku sedikit berteriak, untuk mengatasi suara-suara kesetanan yang memenuhi mobil. Aku menutup telinga.
“Alesana! Keren kan?” katanya. Dia bahkan menyanyikan lirik lagunya mengikuti jeritan di vokalis, yang di telingaku tidak membentuk suatu kata apapun, apalagi lirik lagu.
Aku menghela napas menenangkan hati. Kuraih tombol di panel tape-nya dan kutekan. Jeritan yang sedang setengah jalan langsung berubah menjadi suara jazzy-nya Jason Mraz. Aku tersenyum lebar, ini baru hidup. Belum ada lima detik Jason menyanyi, jeritan panjang diiringi gebukan drum supercepat terdengar lagi. Cengiran lebar menghiasi wajah ganteng Zafran.
Kutekan lagi tombol, dan atmosfer kembali berganti. Baru saja Jason menyenandungkan kata pertama dalam reff-nya, suara lead guitar dan rhytm yang cepat dan terdengar sulit—sampai aku yakin jari-jari gitarisnya pasti terbelit—menggantikan slow beat lagu Lucky. Begitu terus yang kami lakukan sampai beberapa menit.
“Hei!”
“Jangan lagu lembek begitu dong!”
“Apaan sih, jerit-jerit kayak orang kesurupan begini?”
“Lagu kayak gituan cuma buat ngajarin anak SD Bahasa Inggris, tahu!”
“Ini lagu buat ritual pemuja setan, tahu nggak?”
Jari-jariku meraih tombol untuk yang ke sekian kalinya, tapi tangan Zafran menangkapku dan menjauhkannya dari tape. Sialan! Jangan di saat begini dong… Tanganku terasa tersetrum kecil saat cowok itu memegangnya. Dia malah tertawa-tawa menang.
“Gue nggak tahan, Zaf! Lagu lo bikin kuping gue budek!” kataku dengan suara cukup keras.
Dia tertawa lagi, dan lagi dan lagi ikut bernyanyi bersama lagu screamo aneh itu. Aku menghela napas keras sambil menggelengkan kepala kuat-kuat dan menarik tanganku dari genggamannya. Kututup telingaku lagi dan mencoba puas dengan hanya mendengarkan lagu pemujaan iblis itu terdengar lagi, plus suara Zafran yang bersemangat seklai mengikuti lagunya. Harus kuakui, suara Zafran jelek sekali
Sepuluh menit kedepan seperti itu, sampai akhirnya Zafran memarkirkan mobilnya di pelataran parkir sebuah supermarket. Aku turun dari mobilnya dengan perasaan lega dan hembusan napas bahagia.
Ketika dia berjalan mengiringiku menuju pintu supermarket, aku berceletuk, “Lo putar lagu kayak begitu satu jam aja di rumah gue, tikus-tikus sama kecoak bakalan pada teler, bener deh!”
Dia nyengir.
“Lo kedengeran kayak nyokap gue,” katanya sambil membukakan pintu kaca buatku masuk terlebih dahulu. Dan dia pula yang mengambil keranjang. Kami pergi ke rak bagian yang menjual selai dan toping serta bubuk-bubuk cokelat dan kopi, dan menemukan apa yang kami cari. Aku menjulurkan tanganku untuk meraih Milk Chocolate Compuond, tetapi tangan Zafran lebih dulu mengambilnya dengan mudah. Mungkin sudah menjadi peraturan dalam tata tertib cowok gentle; dilarang membiarkan cewek menyentuh benda-benda yang ingin diraihnya.
“Yang ini?” tanyanya.
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Terus, yang mana lagi?” katanya.
Aku menunjukkan White Chocolate Compuond dan dia juga mengambilkannya, dua batang sekaligus, lalu ditambah juga satu batang lagi Milk Chocolate.
“Wow. Lo mau bikin cokelat buat siapa sih sampai sebanyak ini?” celetukku tanpa bisa kucegah, atau kutarik lagi.
Dia tersenyum.
“Penasaran aja nih,” katanya.
Oke, aku nyerah. Aku melanjutkan menyusuri rak demi rak sampai ke tempat household, dan di sana dengan mudah menemukan cetakan-cetakan bagus untuk cokelat.
“Nah, lo yang pilih, mau cetakan yang kayak gimana?” kataku sambil menyerahkan beberapa jenis cetakan kepadanya.
Bahkan sebelum dia memilih, aku sudah yakin apa yang akan dipilihnya, dan benar saja. Dia meletakkan cetakan berbentuk hati dan love matter lainnya seperti beruang-beruang kecil dan amplop surat berperangko hati. Ternyata dia cowok gombal bertipe global.
“Ada lagi?” tanyanya.
“Mm… lo punya plastik segitiga nggak?” tanyaku.
“Yang dipake buat bikin hiasan tart itu kan?” dia balas bertanya.
Aku mengangguk.
“Ada sih, kayaknya. Tapi ntar gue cari di rumah,” katanya.
“Oke, kalau gitu beres!” kataku.
Kami membawa belanjaan kami ke kasir dan aku menunggu Zafran membayar semuanya di luar meja logam kasir. Setelah selesai, dia menghampiriku sambil tersenyum. Tampaknya cowok satu ini suka sekali mengumbar senyum.
“Yuk, kita ke rumah gue,”katanya. Dia membukakan pintu lagi dan kami berjalan ke mobilnya.
Sesampainya di dalam mobil, aku ragu-ragu, tapi ingin menanyakan waktu kepadanya.
“Ng, sekarang jam berapa sih?” kataku.
“Kenapa? Lo ada acara?” tanyanya.
“Enggak sih… takut kesorean aja. Bikin cokelatnya nggak sebentar lho,” kataku.
Dia melihat arlojinya. Aku sendiri tak pernah berniat memakai arloji mengingat kebiasaanku yang pelupa.
“Baru jam tiga. Nggak apa-apa kan? Kalau kemaleman, kan gue pasti antar lo sampai ke depan pintu. Kalau perlu gue yang jelasin ke nyokap lo deh!” katanya.
“Nyokap gue udah nggak ada, Zaf,” kataku.
Dia menoleh menatapku. Aku membalas tatapannya.
“Udah meninggal sejak umur gue empat tahun,” lanjutku sambil mengacungkan empat jariku.
“Oh…” Wajahnya langsung menyiratkan kepahaman sekaligus rasa sesal. “Maaf…”
“Nggak apa-apa lagi. Santai aja,” kataku sambil tersenyum.
Dia membalasnya dengan senyum kecil.
Setelah meninggalkan supermarket, kami mampir di McStop untuk membeli dua porsi BigMac dan Pepsi serta air mineral. Sebelumnya, dia meyakinkanku bahwa di rumahnya nggak ada makanan karena tidak ada yang memasak dan dia tidak ingin membiarkan anak orang kelaparan sementara ditawan di rumahnya. Akhirnya aku pasrah saja dan membiarkan dia mentraktirku makan sekali lagi, untuk yang kedua kalinya dalam satu hari. Kami makan seperti orang kelaparan di dalam mobilnya, dan bahkan dia tidak memperingatkanku agar tidak belepotan dan mengotori mobilnya. Dia hanya tertawa kecil saat seiris tomat mencelat keluar dan mengotori jok serta karpet mobilnya. Peraturan kedua dalam buku tata tertib gentleman; dilarang memperingatkan cewek, meskipun dia akhirnya membuatmu rugi.
“Maaf, maaf… aduuh, gue nggak sengaja,” kataku mengiba-iba,”…Lagian kan udah gue bilang, gue nggak pandai makan burger, apalagi BigMac begini. Jadinya malah ngotorin kan. Aduh, maaf ya, Zaf…”
Dia mengambil tisu dan mengelap, bukan joknya, tapi mulutku yang aku sendiri tidak sadar belepotan. Sambil mengawasinya melakukan itu semua aku hanya bisa tercengang menyadari betapa baiknya laki-laki ini dan betapa bodohnya diriku. Aku marasakan mukaku memerah sementara dia membersihkan daguku dengan lembut. Dia mengambil beberapa lembar tisu lagi dan menyerahkannya kepadaku.
“Ini. Bersihkan kaki lo, pada kena saus tomat begitu,” katanya sambil tertawa geli.
Aku cuma bisa menuruti kata-katanya, dan sekaligus membersihakan jok mobilnya sebisaku.
“Udah, biarin aja karpetnya. Ntar juga bisa gue bersihin,” katanya saat aku membungkuk mau mengelap noda dan memungut irisan tomat di atas karpet.
Karena terlalu merasa menyesal, aku duduk diam saja sepanjang perjalanan ke rumah Zafran. Lihat sisi positifnya, seenggaknya tidak ada Adela di sini yang akan melihat kekonyolanku dan pasti akan mengomentariku habis-habisan. Memikirkan hal itu, aku jadi bisa sedikit tersenyum.
Demi menghiburku, Zafran tidak memutar lagu Alesana-nya lagi, tapi membiarkan lagu Dia-nya Maliq and d’Essential diputar oleh penyiar radio.
Sialan! Momennya terasa terlalu pas.


Aku berdiri tegak dan memperhatikan Zafran menghias cokelat-nya sedemikian rupa. Alisnya bertaut, dahinya mengerut dan matanya menyipit dalam keseriusannya membuat cokelat menjadi seindah mungkin. Aku menghela napas dan merasa sedikit cemburu kepada pacarnya. Maksudku, cewek itu beruntung sekali mendapatkan cowok yang begitu serius menyayanginya seperti ini. kalau aku… hahaha… hanya sekali aku mendapatkan cokelat, dari orang lain selain Adela dan Ayah serta kakak-kakakku maksudnya. Aku bahkan tidak mengenal orang itu, yang memberikanku cokelat pada hari ulang tahunku yang ke enam belas, saat aku di kelas dua SMA. Sekotak Ferrero Rocher itu menyembul indah dari tumpukan buku-buku di dalam tasku saat aku mencari buku catatan Kimia di tas sekolahku malamnya. Itu saja. Tidak ada kartu atau surat, atau sekedar tulisan nama pengirimnya. Biarlah, pikirku saat itu, kalau aku punya pengagum rahasia.Yang penting Ferrero Rocher-nya ludes kumakan sendiri, sebelum salah satu dari kakak-kakakku ikut turun tangan.
“Bagaimana, Bu Guru? Yang ini lumayan kan?” kata Zafran tiba-tiba.
Aku yang tanpa sadar dari tadi melamun sambil menatapnya tersentak.
“Oh, eh… coba gue lihat.”
Aku mengangkat cetakan berbentuk enam beruang kecil yang memegang seikat bunga di dadanya. Dari semua cetakan, baru satu yang diisinya dengan cokelat hasil kreasinya. Boneka beruang putih bermata dan hidung cokelat tua itu kini menggenggam sebuket bunga berwarna pink, dan bahkan dia menambahkan detail dua titik berwarna pink di antara masing-masing ujung mulut tersenyum si beruang dengan mata cokelatnya, menunjukkan bahwa si beruang putih sedang tersipu malu. Telapak kaki si beruang juga diwarnai cokelat. Aku kagum melihat detail yang dibuatnya dalam waktu yang cukup singkat. Zafran cepat belajar dan juga cekatan. Waktu kelas satu dulu, dia hanya membantuku menge-tim cokelatnya saja karena Adela berpendapat cowok bertangan kasar dan ceroboh, nyatanya jemari Zafran begitu telaten mengias cokelat mungil pertamanya ini.
“Sini. Ada yang lupa gue tambahkan,” kata Zafran.
Aku mengembalikan cetakan cokelat kepadanya dan dia memasukkan potongan strawberry ke dalamnya. Aku tertawa.
“Kenapa?” tanyanya melihatku tertawa.
“Tadi lo udah nambahin mint di adonan cokelatnya. Masa sekarang lo masukin strawberry? Lagipula strawberry-nya nggak akan bertahan lama. Kalau yang lo masukin buah-buahan kering kayak kismis atau kurma, mungkin bisa-bisa aja,” kataku menjelaskan kepadanya.
Dia tetap tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa melainkan kembali membungkuk mengerjakan cetakan yang lain. Aku menghela napas. Ya sudahlah, aku nggak usah terlalu ikut campur. Yang penting sudah kuberitahu, jadi dia nggak akan malu di depan pacarnya nanti. Aku melirik jam dinding berbentuk labu, sudah hampir pukul enam. Gimana nih?
“Mm… Zaf?” Kucoba untuk memanggilnya.
Dia tidak menyahut. Oke, dia sedang benar-benar serius kali ini. Aku menghitung-hitung dengan gelisah. Mungkin aku bisa menunggu beberapa menit lagi sebelum pamit pulang. Lagipula, sepertinya Zafran sudah bisa melanjutkan sendiri kegiatannya, dia tidak memerlukan aku lagi.
Kulihat wajahnya yang sedang berkonsentrasi itu lagi. Dalam ekspresi sangat serius penuh konsentrasi seperti inipun dia masih terlihat sangat tampan, malah kelihatan lebih gagah. Saking seriusnya, setitik cokelat menempel di ujung hidungnya. Aku tertawa kecil.
Dia mengangkat kepalanya dan melihatku.
“Ada apa?”
Aku membungkam mulutku dan berniat tidak akan memberitahunya.
“Nggaaak. Nggak kenapa-napa kok.”
“Ooh…”
Dan kembali ditekuninya cokelat di bawahnya. Aku pun kembali menikmati memperhatikan wajahnya.
Sepuluh menit berlalu…
Sekarang benar-benar sudah lewat pukul enam. Cepat atau lambat toh aku harus menyadarkannya juga.
“Zafran…” Kali ini berhasil. Dia mendongak dan berdiri tegak. “Gue bener-bener harus pulang sekarang,” kataku, mencoba mengatakannya dengan sehalus mungkin.
Dia mengangkat kedua alisnya.
“Ehm, udah bener-bener sore. Gue takut bokap khawatir. Lagian, gue belum bilang apa-apa ke orang rumah. Sori, ya…” kataku.
“Oh, nggak apa-apa. Tapi gue beres-beresin ini dulu ya, baru setelah itu nganterin lo. Lo tunggu aja di ruang tamu,” katanya.
“Eh, nggak usah. Gue… pulang sendiri aja. Nggak apa-apa kok.”
Dia menatapku tajam.
“Jangan bercanda. Gue yang bawa lo ke sini, jadi gue juga yang balikin lo ke rumah. Lo tunggu bentar, gue beresin dulu…”
“Ng… nggak apa-ap lagi Zaf…”
Ini bukan masalah bakalan merepotkannya atau apa. Tapi masalah apa yang akan dikatakan keluargaku yang sedikit imbisil itu kalau melihat Zafran mengantarku pulang ke rumah.
“Zaf, gue harus pulang. Bukan berarti gue mau membuat lo tersinggung. Ini masalah yang lain, jadi gue harus pulang sendiri,” kataku mencoba kembali menjelaskan sementara dia membereskan panci cokelat.
Dia menghela napas dna menatapku. Entah mengapa aku rasakan sejak kami mulai membuat cokelat tadi sikapnya mulai serius, tidak penuh bercandaan seperti tadi lagi.
“Emangnya lo tahu jalan pulang?” katanya.
Lebih dari segalanya, kata-kata itu menusuk ku.
“Gu… gue bisa pulang pakai taksi,” kataku mencoba menghindar.
Kemudian hening. Hening, hening…
“Lo nggak suka sama gue ya?” tanyanya pelan.
Aduh! Apa yang harus kujawab? Ditanya seperti tu, dan dengan pandangannya itu, aku tidak tahu harus bagaimana menjawab dengan baik dan benar, serta tidak membuatnya laah paham.
“Zaf, ini bukan masalah suka atau nggak. Gue suka ada bersama lo. Lo orang yang menyenangkan. Tapi gue harus pulang sendiri. Maafin gue ya,” kataku dengan suara pelan.
Dia menatapku selama beberapa saat. Akhirnya dia mengangguk.
“Ya udah, tapi gue antarin lo nyari taksi,” katanya.
Aku bernapas lega sambil mengangguk dan tersenyum. Dia akhirnya mengantarku keluar dan kami menunggu taksi di halaman rumahnya. Aku memperhatikan pemandangan di sekitar rumahnya. Rumah Zafran menghadap ke barat, dan tanpa pagar besi tinggi sehingga langit senja benar-benar terlihat indah dari sini. Aku terpesona melihat semburat oranye kemerahan menyapu langit di depanku.
“Kavia, terima kasih ya,” kata Zafran tiba-tiba.
Aku memandangnya dan mengangguk
“No problem. Aku dapat traktiran plus mengotori mobil lo,” kataku dan tersenyum.
Dia balas tersenyum. Karena dia tidak berkata apa-apa lagi, aku melanjutkan melihat pemandangan. Tiba-tiba kulihat sesosok yang familiar di mataku.
“Mas Naven…” gumamku lirih.
Seorang laki-laki bertubuh jangkung dan berjaket cokelat tua keluar dari halaman sebuah rumah tak jauh dari rumah Zafran menuju motor berwarna merah-hitam yang terparkir di depan rumah itu. Wajahnya… kacamatanya… tak salah lagi itu Mas Naven.
“Ada apa, Via?” tanya Zafran, tapi aku keburu memanggil laki-laki itu.
“Mas Naven!”
Dan… voila! Benar saja, laki-laki itu menoleh. Kebeneran banget nih, ada tebengan. Mas Naven melambai ke arahku dan menghidupkan motornya, lalu membawanya ke depan rumah Zafran. Setelah cukup dekat, dia tersenyum kepadaku.
“Zaf, gue mau nebeng sama Mas Naven aja nih,” kataku. “Gue cabut dulu ya.”
“Siapa?” gumam Zafran pelan.
Aku memandangnya, lalu memandang Mas Naven yang tidak turun dari motornya.
“Dia pegawai bokap gue, jadi gue bisa nebengin dia,” kataku. “Pamit ya!”
Aku pun berjalan ke tempat Mas Naven dan motornya.
“Mas, aku nebeng ya,” kataku.
Dia mengacungkan jempolnya.
“Beres, Non! Naik deh!”
Aku tersenyum berterima kasih, lalu naik ke boncengannya. Ketika Mas Naven menghidupkan lagi motornya, aku menoleh ke arah Zafran.
“Gue pulang ya. Makasih, BigMac-nya!” kataku sambil melambaikan tangan.
Dia balas melambai.
“Daah! Hati-hati.”
Aku mengacungkan jempol seperti yang dilakukan Mas Naven dan laki-laki kurus itu menjalankan motornya.
Di jalan, Mas Naven mengobrol denganku.
“Dari rumah pacar ya, Vi?” katanya.
“Wah! Ya enggaklah, Mas. Itu tadi Zafran, temenku,” kataku mengkonfirmasi.
“Ooh…”
“Kenapa Mas? Cemburu? Hehehee…”
Mas Naven tertawa. Dia meraih kepalaku dengan tangan kirinya dan mengacak rambutku.
“Waduh, Mas Naven. Rambutku jadi makin kusut nih!” kataku.
“Pacarmu ganteng juga, Vi!”
“Idih, Mas Naven homo!”
“Hahaha…”
Sore itu, diatas motor sok gede Mas Naven yang dijalankan pelan-pelan di tepi kiri, aku mengenang kembali kejadian indah sepanjang hari ini.
“Mas, numpang ya di punggungnya,” kataku.
“Monggo-monggo… Biaya ojeknya nambah lima ribu ya.”
Aku tertawa dan menyandarkan keningku di punggung Mas Naven. Wanginya jauh berbeda dengan wangi tubuh Zafran, tapi. Wangi panas! Mas Naven pasti sibuk bekerja seharian ini untuk membayar cutinya kemarin. Bagaimanapun juga, Mas Naven adalah pegawai teladan Ayah.
“Via, hati-hati. Jangan ketiduran, ntar kalo jatuh trus kepalanya pecah, Mas yang repot beresin otaknya,” kata Mas Naven.
Tadinya kukira Mas Naven akan mengantarku ke toko Ayah. Tapi ternyata dia mengantarkanku sampai ke depan rumah.
“Wah, Mas Naven, aku jadi ngerepotin nih,” kataku saat sudah sampai di depan pintu.
“Nggak kok, Vi. Kebetulan hari ini Mas ambil shift sampai malam, jadi banyak waktu,” kata Mas Naven.
“Oh, ya udah sukur deh kalo nggak ngerepotin. Masuk yuk, Mas. Makan malam dulu sekalian,” kataku.
“Nggak deh. Kasiah Pak Wisnu nunggu di toko. Mas balik dulu ya, Via,” katanya.
Aku tersenyum.
“Makasih ya, Mas, tebengannya.”
Dan Mas Naven pun berpamitan pergi. Saat kubuka pintu, kejutan!
Kak Ben sudah pulang.

Click Here to Read More..

Bab 1

Posted By Ri

BAB I
Si Pecinta Kucing

Aku baru saja mematikan kompor ketika suara-suara mulai berdatangan ke meja makan. Ketika kuangkat pengorengan dari kompor, aku melihat Ayah, Kak Bin dan Kak Bon menarik kursi masing-masing. Buru-buru ku pindahkan nasi goreng ke bakul nasi berbentuk mangkok keramik dan kuletakkan di meja. Tiga tangan menggapai pinggiran mangkok bersamaan.
“Kepala keluarga duluan,” kata Ayah.
“Lha? Kan aku yang dapet duluan, Yah,” kata Kak Bon.
“Gimana sih? Yang beli beras kemarin kan aku!” Kak Bin berkeras.
Pagi yang biasa, di hari yang biasa. Setiap pagi aku bangun, sholat, mandi, cuci, kakus. Ya nggak lah. Setelah mandi dan berpakaian seragam, aku akan turun ke dapur dan mulai memasak. Aku punya bukan hanya satu, bukan dua, tapi tiga kakak laki-laki. Di rumah ini akulah satu-satunya perempuan, karena Bunda sudah m pergi ke haribaan Tuhan sejak aku berumur empat tahun, meninggalkan warisan empat orang laki-laki yang memeliharaku, dan kupelihara. Aku sudah dididik menjadi ibu rumah tangga sejak kecil, bahkan punya bakat jadi pengusaha katering yang sukses.
Ngomong-ngomong soal empat laki-laki yang selalu kelaparan ini, kemana kakakku nomor dua, Kak Ben?
“Kak Ben mana, Yah?” tanyaku sambil duduk dan meraih piring makanku.
“Pergi,” jawab Ayah singkat dengan nada datar.
Aku terdiam. Kak Ben adalah anak Ayah yang paling carefree sama keluarga kami. Aktifitasnya di rumah hanya datang, makan, tidur, dan pergi, itupun tidak setiap hari. Tidak pernah ada note, SMS, apalagi menelepon, boro-boro memberitahu langsung. Kak Ben selalu sibuk menghabiskan waktu bersama teman-teman klub fotografi dan pecinta alamnya. Kami sudah lama menyerah dan bertingkah tak tahu apa-apa kalau dia bertingkah semaunya sendiri, bahkan kurasakan semakin lama, Ayah semakin diam terhadapnya.
“Aku minta timun dong,” kata Kak Bon.
Aku pergi ke tempat kulkas dan mengambil sebuah timun. Kukupas, kucuci, lalu kupotong-potong. Kak Bon tidak bisa makan kalau tidak ada sayuran, dia vegetables addict. Mungkin karena itulah dibandingkan kami semua, dia yang punya kulit paling halus dan bersih, bahkan dibandingkan aku yang cewek. Dia adalah kakak laki-lakiku yang ketiga, dan usianya hampir dua tahun di atasku. Berkat ke-fashionista-annya, bakat sebagai player-nya muncul secara alami sejak dini. Seingatku ketika kelas nol besar TK, pacarnya sudah tiga, dan satu cewek diklaim sebagai istrinya.
Baru saja aku menghabiskan setengah porsi nasi goreng, Kak Bin sudah berdiri dari kursinya.
“Kok buru-buru banget sih, Kak?” tanyaku sambil mengawasi dia minum air putih.
“Pagi ini harus cari bahan skripsi ke perpustakaan,” katanya.
“Kenapa harus pagi banget?” tanyaku.
“Makin cepat makin baik kan. Ohya, kalau mau nitipin belanjaan sekalian aja. Katanya mau belanja bulanan kan?” kata Kak Bin.
Tumben dia baik hati.
“Beneran?”
“Nggak usah basa-basi deh. Cepetan, mana daftarnya?”
“Ada di pintu kulkas. Duitnya sama Ayah,” kataku sambil tersenyum manis.
Kak Bin adalah putra sulung Ayah. Sejak Bunda meninggal, tanggung jawabnya hampir menyerupai Abang Rumah Tangga. Untungnya dia bukan tipe cowok yang mengutamakan teman seperti Kak Ben, atau yang isi otaknya hanya makanan dan cewek seperti Kak Bon. Ini tahun terakhirnya di perkuliahan, dan dia bertekad cepat menyelesaikannya dan cepat mendapatkan pekerjaan agar bisa membantu keuangan keluarga. Ayah memang pensiunan sebuah perusahaan asuransi dan sekarang membuka petshop milik keluarga. Tapi bagaimanapun juga, kakak-kakakku masih kuliah dan aku sendiri sebentar lagi juga akan menyusul mereka. Jadi Kak Bin—yang bermotto makin cepat makin baik—merasa bertanggung jawab membantu perekonomian keluarga kecil kami.
“Boni, kamu bantu-bantu Ayah di toko ya?” kata Ayah tiba-tiba.
“Wah, Ayah. Nggak bisa. Aku udah ada janji…” kilahnya.
“Sama cewek,” sambungku.
Dia tertawa.
“Boni Fans Club nomor 47. Hehe… maaf ya, Yah. Via aja nih,” kata Kak Bon tiba-tiba menudingku.
“Apaan? Nggak ah. Toko Ayah bau!” kataku menghindar.
Ayah menghela napas.
“Oh, ya sudah. Padahal hari ini ada produser yang lagi bikin film layar lebar bakalan butuh jasa Ayah, menyewa semua jenis anjing di petshop kita. Mana Naven lagi cuti lagi…” ujar Ayah.
Aku diam saja, begitu juga Kak Bon.
“…Padahal rencananya Ayah pingin diskusiin royalty-nya sama kalian. Tapi kalau memang nggak bisa…”
“Jam berapa Ayah janjian sama produsernya?” kataku cepat.
Kak Bon yang baru buka mulut langsung merengut. Dia kalah cepat dibanding aku. Ayah tersenyum-senyum.
“Jam delapan kita berangkat, oke?” kata Ayah.
“Siap!”
Aku mencium bau uang saku tambahan di udara.

*

“Yah, yang ini juga?” tanyaku melihat kandang berukuran superbesar berisi Bulldog yang menurutku pernah digelembungkan sewaktu bayi sehingga ukurannya tak wajar.
Ayah yang sedang membujuk beberapa anjing Bolognese untuk keluar dari kandang, mendongak. Dia terkekeh.
“Buffy biar tugas Ayah nanti. Kamu tolong bereskan yang disini saja,”kata Ayah.
Kami pun bertukar posisi. Anjing-anjing impor dari Italy ini menyalak lucu ketika aku menghampiri.
“Iya, iya. Kalian harus keluar dulu ya. Kandangnya harus dibersihin. Biar wangi!” bujukku sambil membelai-belai kepala mereka.
Aku yang sudah setuju membantu Ayah di petshop sejak pukul setengah sembilan sudah mondar-mandir di toko Ayah mengerjakan keperluan anjing-anjing elit ini. Mulai dari memindahkan beberapa kandang untuk dikelompokkan, membersihkan kandang dan wadah pasir para binatang, memandikan anjing-anjing macam Belgian Shepherd, alias herder dari Belgia yang lumayan galak dan mengeringkan bulunya, sampai memberikan susu untuk anak-anak anjing, kukerjakan hanya berdua bersama Ayah! Semua ini karena Mas Naven pergi. Dia adalah satu-satunya pegawai Ayah, dan biasanya bekerja sepanjang pagi sampai sore karena dia kuliah malam. Tapi hari ini cowok berkacamata itu tidak datang. Padahal hari ini adalah hari tersibuk—dan bisa dibilang terpenting—bagi Ayah sepanjang akhir tahun ini.
Selesai mengurusi anjing-anjing lucu itu, aku duduk merosot di kursi kulit Ayah di dalam kantornya. Sekujur badanku berbau campuran antara pup anjing dan pipis kucing. Aku yakin bulu-bulu binatang itu banyak menempel di bajuku dan aku nantinya harus mengaku kepada Ayah bahwa dua helai bulu burung nurinya yang berwarna hijau-biru tak sengaja tercabut olehku tadi. Kulirik jam dinding, sudah pukul sebelas! Sialan, aku diperbudak oleh binatang-binatang yang bisanya menggonggong, mengeong, berkicau, dan pup. Segala dilayani. Aku heran kenapa Ayah tahan melakukan ini semua setiap hari., bahkan hari libur.
“Kavia!” Ayah memanggil namaku dari bagian depan toko. “Ayah bawa jus!”
Aku menyahut dengan gembira. Kuambil jus tomat dari tangan Ayah dan duduk di meja konter yang dibelakangnya terpajang peralatan perawatan binatang peliharaan.
“Orang film itu datang jam berapa sih, Yah?” tanyaku sambil menyeruput jusku.
Ayah mengecek jam tangannya.
“Seharusnya sebentar lagi mereka datang…”
Baru saja suku kata terakhir diucapkan, suara mobil yang menderu berhenti di depan toko kami. Tak lama kemudian—kling-kling—pintu toko terbuka dan seseorang berkaus polo dan berkacamata hitam masuk. Sebelum pintu toko tertutup, aku bisa melihat Jeep hitam yang besar terparkir di depan pintu toko Ayah.
“Panjang umur, sehat sentosa. Orang-orang film memang selalu on time,” kata Ayah.
“Itu produsernya, Yah?” tanyaku.
“Bukan. Itu asisten property-nya,” jawab Ayah.
Dia menyambut tamu kehormatan itu dengan senyum yang ramah.
“Apa kabar, Pak Nando?” sapa Ayah sambil menjabat tangan laki-laki itu.
“Baik. Saya datang ke sini untuk urusan perjanjian kemarin, Pak…”
“Wisnu. Ya, saya sudah merawat anjing-anjing ini sepagian. Anda tinggal membawa mereka saja, Pak Nando,” senyum Ayah.
Cih, orang yang sok penting! Bisnis sama Ayah, tapi lupa namanya. Aku memperhatikan laki-laki itu membuka kacamata hitamnya. Tidak speerti Ayah, wajahnya tidak terlihat antusias.
“Yah… begini Pak Wis…nu, ya?” Ayah mengangguk semangat. “Soal perjanjian itu… terpaksa harus dibatalkan, yah…”
Senyum menghilang dari wajah Ayah, berganti dengan ekspresi kebingungan.
“Lho? Ada masalah apa ya, Pak?” tanyanya.
“Yah, ini soal Pak Produser. Beliau ingin mengganti adegan terakhir filmnya, yah. Jadi kami tidak memerlukan lagi anjing-anjing ini, yah…”
“Kok gitu sih?” potongku dengan suara keras.
Pak Nando dan Ayah menoleh ke arahku. Aku melompat turun dari meja konter dan mendekati mereka berdua. Emosiku naik menjalar sampai ke ubun-ubun.
“Yah, ini bukan masalah yang bisa kau mengerti, Nak,” kata Pak Nando.
“Tolong jangan meremehkan saya. Apapun masalah yang Bapak kira tidak bisa saya mengerti itu, setidaknya saya paham betul cara untuk menghargai orang,” kataku dingin.
Wajah Pak Nando memerah.
Kling-kling. Seseorang masuk. Mungkin ajudan orang di depanku ini yang sepertinya siap menamparku kapan saja, tapi aku tidak mengalihkan pandanganku dari wajahnya.
“Bapak tahu nggak apa yang saya dan Ayah lakukan sepanjang pagi ini? Menyiapkan anjing-anjing yang akan kalian sewa. Sepanjang pagi! Kalau memang mau membatalkan, apa susahnya sih konfirmasi dari kemarin-kemarin? Jangan bikin capek orang lain aja. Memangnya bersihin pup anjing cuma ditiup aja?” kataku tanpa belas kasihan.
“Kau tak mengerti apa yang kau bicarakan, bocah bawel!”
“Apa? Bawel? Bawel Anda bilang?...”
“Sudah, Via,” kata Ayah. Dia kembali memandang Pak Nando. “Kalau begitu keinginan Pak Produser, ya sudah. Silakan sampaikan ke atasan Anda, perjanjian sudah dibatalkan.”
Wajah Pak Nando mencerminkan kepuasan saat dia memandangku. Di mataku, yang terlihat hanyalah ekspresi ketololan.
“Tapi demi kebaikan kalian semua, sebaiknya Anda mempertimbangkan ucapan anak saya yang berumur tujuh belas tahun dan tak mengerti apa-apa ini,” sambung Ayah dengan tenang.
Hening sejenak. Sesaat kupikir dia akan meludah di depan Ayah, tapi ternyata dia hanya mengernyitkan mulutnya dan memandang dengan cara paling meremehkan yang pernah kuterima. Dan dia pergi meninggalkan petshop kami.
Keheningan berlanjut…
Aku tidak tahu berapa menit yang kubutuhkan agar siap memandang Ayah dan meminta maaf kepadanya.
PLUK! Sebuah tepukan pelan mendarat dia bahuku. Aku mendongak. Ayah sedang tersenyum hangat kepadaku. Tapi aku tersenyum sedih.
“Maaf, Yah,” kataku pelan. “Aku bikin kacau.”
“Sama sekali tidak. Kamu nggak bikin kacau. Kamu anak Ayah. Dan benar-benar gadis tunggal Bundamu…” kata Ayah.
Perasaanku menghangat saat Ayah menyangkut-pautkan Bunda dengan kelancangan yang kubuat tadi. Laki-laki hampir setengah abad di depanku ini meraihku dan aku memeluknya erat.
“Aku sayang Ayah…”
Dan dia meledak tertawa.
“Kira-kira sudah sepuluh tahun Ayah nggak dengan kamu bilang seperti itu,” katanya sambil menyusut air mata saking serunya dia tertawa.
Aku memukul punggung Ayah pelan. Tiba-tiba terdengar bunyi berkelontangan. Aku dan Ayah melepas pelukan kami dan menoleh.
Seorang laki-laki dalam balutan jas hitam sangat bagus dan sepatu pantofel hitam mengilap yang tak bisa kutaksir mahalnya, mengembalikan kaleng makanan kucing ke dalam raknya dan memandang kami dengan canggung.
“Maaf ya, aku mengganggu family moment kalian,” katanya.
Ayah tersenyum lebar.
“Lama tak jumpa, Pak Handi,” kata Ayah. Dia berjalan mendekati laki-laki itu dan mereka berjabat tangan.
Aku memperhatikan dari jauh laki-laki necis itu. Usianya mungkin akhir tiga puluhan, penampilannya sangat rapi dan terpelajar, wajahnya bersih dan bercukur. Dia tertawa ramah mendengar kata-kata Ayah yang tak kudengarkan. Aku terutama menyukai ekspresi tawanya, ketika dia tertawa, sudut-sudut matanya berkerut ramah dan otot-otot pipinya yang tertarik menciptakan garis-garis tawa yang menarik di wajahnya. Dia dan Ayah mengobrol akrab sesaat, sebelum Ayah memanggilku untuk mendekat.
“Han, ini gadis bungsuku, Kavia…” kata Ayah. Aku menyalami laki-laki itu,”...Via, ini Pak Handi, salah satu pelanggan paling setia kita.”
Laki-laki itu tersenyum kepadaku.
“Padahal kupikir hidupmu sangat kesepian, Nu, tapi ternyata punya putri secantik dan seberani ini,” katanya.
Mukaku memerah. Pasti dia mendengar percekcokan tadi. Tiba-tiba telepon berdering di kantor. Ayah permisi sebentar dan meninggalkan aku bersama pelanggan setianya ini. Tanpa berkata apa-apa, laki-laki necis itu berbalik dan berjalan perlahan sambil mengamati kandang-kandang berisi berbagai macam kucing. Dalam keheningan yang menyusul, aku bisa mendengar kasak-kusuk Ayah di dalam kantor. Pasti dia menjatuhkan buku catatannya lagi entah dimana. Baru saja aku akan beranjak untuk membantu Ayah, laki-laki itu memanggilku.
“Hei…”
Aku menoleh memandangnya. Ternyata dia sedang berdiri diam menatapku juga.
“A… ada yang bisa saya bantu… em, Om Handi?” kataku geragapan. Kenapa kupanggil dia Om ya?
“Tolong kesini,” katanya sambil memberikan isyarat kepadaku untuk mendekat.
Aku berjalan mendekatinya.
“Bantu aku memilih seekor kucing yang bisa menyenangkan hati wanita,” katanya.
Eh?
“O…oh, istrinya ya, Om…”
Ups! Sialan. Aku menekap mulutku. Mesti nggak sih mulutku ngomong hal nggak penting kayak gitu?
“Maaf, maksud saya…” kataku tergagap.
Om Han melihatku dengan pandangan yang tak bisa kutebak, lalu sedetik kemudian tersenyum kecil.
“Ya, istriku suka sekali kucing. Sampai terkadang membuatku cemburu,” katanya.
Aku bernapas lagi. Legaa…
“Oh, gampang, Om! Tergantung bagaimana selera Tante Han, eh, maaf ya, Om…” kataku lagi-lagi.
Dia tertawa kecil.
“Nggak apa. Teruskan.”
Aku menghela napas menenangkan diri. Oke, kali ini no more accident. Rem mulut, rem!
“Kalau sifat… beliau… lembut, saya sarankan pilih kucing bertubuh kecil yang berbulu panjang dan lembut, Om Han. Begitu…” kataku. Entah apa yang membuatku berpikir begitu, aku kan asal bicara saja.
“Bertubuh kecil dan berbulu lembut… hm…” gumamnya.
Aku membiarkannya melihat-lihat koleksi kucing Ayah dalam diam. Sesekali dia mengulurkan tangan menyentuh kucing-kucing itu. Sampai sesaat kemudian, dia menunjuk seekor kucing bertubuh gemuk dan mirip Garfield, hanya saja warna bulunya abu-abu.
“Menurutmu kucing ini diberi nama siapa?” tanyanya.
Aku melongo.
“A… ah, em… nggak tahu juga ya, Om. Nanti saya tanyakan Ayah siapa namanya…”
“Bukan. Maksudku, kamu yang beri nama,” katanya.
“Sa… saya?” Apa sih maksudnya Om Han ini? Awas saja kalau dia tidak jadi beli.
Dia memandangku dengan pandangan yang semakin lama semakin membuatku merasa bodoh.
“Ah, saya tahu! Bagaimana kalau Furby?” kataku. Bahkan ketika mengatakannya pun aku merasa nama itu begitu konyol.
Dia terlihat mempertimbangkan.
“Nama yang cocok. Tidak indah, tapi cocok! Bagus, kalau begitu, aku ambil si Furby ini,” katanya.
Aku tercengang untuk beberapa detik. Semudah itu kah?
“Eh, o… oke. Sebentar ya, Om. Ayaaaah! Ayaah!” panggilku ke ruang kantor.
Sepuluh menit kemudian, Om Han sudah menjinjing kandang Furby keluar toko. Ayah dan aku mengantarnya sampai ke depan pintu.
“Datang lagi ya, Han!” kata Ayah.
Om Han tersenyum dan melambai ke arah Ayah. Kemudian dia masuk ke dalam sebuah sedan hitam, bukan ke dalam kemudi, tapi ke jok belakang mobilnya. Wah, ternyata dia bos. Kaca jendela mobil yang hitam diturunkan.
“Sampai jumpa lagi, Wisnu… Kavia,” katanya sambil mengangguk.
Saat kacanya hampir tertutup, aku melihat dia tersenyum… ke arah Ayah. Ya tentu saja dong, masa kepadaku! Mungkin cuma kepalanya saja yang mengarah kepadaku, tapi matanya pasti melihat Ayah kan? Lagipula, aku cukup curiga Om Han ini menertawakanku dari tadi. Berarti dia tersenyum kepadaku dong?
Ah, tidak. Pasti kepada Ayah.

Setelah Om Han pergi, toko Ayah kembali sepi. Pukul tiga sore Ayah memintaku mengantarkan seekor Doberman Pinscher bertubuh besar dan berbulu cokelat lebat ke alamat salah seorang pelanggan. Aku mengendarai mobil Ayah sambil mencari-cari alamat si pelanggan, which is the biggest mistake yang dibuat Ayah. Aku alpa banget soal jalan. Jalan-jalan yang kuingat hanya rute pulang-pergi ke sekolah, dan ke toko Ayah. Itu saja. Berdasarkan notes kecil yang Ayah berikan, seharusnya aku tiba sebelum pukul empat, tapi akhirnya, aku baru memencet bel rumah pelanggan itu pada pukul lima seperempat. Untung pelanggan kali ini seorang tante-tante baik hati yang bertubuh besar dan berwajah ramah. Dia malah kasihan padaku dan bilang bahwa rumahnya memang sulit dicari. Aku tahu itu hanya untuk menghiburku, tapi bagaimanapun juga, pukul setengah tujuh aku tiba kembali di toko setelah beberapa kali lagi kesasar, dan puncaknya adalah sekarang ini, pukul sepuluh malam, saat kami—aku dan Ayah—sudah selesai beres-beres dan baru saja akan pulang.
“Kamu yakin meletakkan kunci mobil di tempat seharusnya?” tanya Ayah.
“Ehm…”
Aku menggaruk-garuk kepala, mencoba mengais sedikit saja ingatan kembali ke sore tadi, ketika aku pulang ke petshop. Sepertinya aku meletakkan kuncinya di kaitan di samping lemari arsip ini deh… atau di meja konter ya?
“Ayah, aku… Aku… lupa. Tapi tadi kayaknya di kaitan biasanya deh!” kataku kebingungan.
Alhasil, pukul sebelas lewat empat puluh menit, kami baru sampai di rumah. Ketika memasuki ruang tengah, kulihat Kak Bon bermesra-ria dengan entah siapa lewat telepon. Dia tidak melihat kami lewat di belakang sofa tempatnya duduk, matanya terpaku ke TV dan kakinya enak menyelonjor ke meja kopi. Ketika aku baru saja akan naik ke kamar, Kak Bin berpapasan denganku sambil membawa secangkir cappuccino dan seplastik besar apel. Pasti dia mau begadang lagi malam ini.
“Uh, kamu bau pipis kucing,” ucapnya sebagai sapaan selamat datang dan selamat malam.
Naik ke lantai dua, aku melihat pintu kamar Kak Ben agak terbuka dan lampunya menyala. Apa Kak Ben sudah pulang ya? Tidak ada yang bilang. Tapi biasanya memang tidak ada yang tahu sih. Aku penasaran, seberani apakah nyaliku untuk melongokkan kepala dan melihat keadaannya? Yah, siapa tahu dia membutuhkan bantuanku, entah membawa cucian ke bawah, atau apalah, jadi kuputuskan sendiri untuk menyapa dan melihat keadaannya. Kubuka pintu kamar bercat putih itu lebar-lebar.
Tidak ada tanda-tanda yang mensinyalkan ada orang yang hidup dan punya kehidupan di dalam sini. Kamarnya masih seberantakan terakhir kali aku melongokkan kepalaku ke dalamnya, dan pintu lemari juga sedikit terkuak. Ternyata dia hanya kembali untuk membawa tambahan baju atau mengambil pisau gunung atau kompas atau apapun yang ketinggalan.
Sambil menghela napas, sedikit kecewa, aku mematikan lampu kamarnya dan menutup pintu. Aku jadi sedikit mengkhawatirkan kakak keduaku itu. Aku pun masuk ke kamarku sendiri dan mencari-cari bath gel untuk kutuang ke bath tub.

Click Here to Read More..