Jumat, 03 April 2009

BAB 2.

Posted By Ri

BAB II
Gentleman dan Cherokee Hitam


“Wow! Coba lihat siapa yang baru gajian,” kata Kak Bin.
Aku nyengir dan menatap lembaran-lembaran biru di tanganku dengan puas.
“I love you, Ayah!” ucapku senang sambil mengecup pipi Ayah. Ayah hanya tertawa.
Gajiku, gaji pertamaku. Hm, aku baru mengerti ungkapan “wangi udara saat hari gajian”. Kumasukkan kertas-kertas mulus I Gusti Ngurah Rai dan Danau Beratan, Bedugul itu ke dalam dompetku dengan hati-hati. Terdengar bunyi klakson tiga kali, yang berarti Kak Bon tidak mau berlama-lama melihatku memamerkan gaji pertamaku itu.
“Aku pergi dulu yaaa!” seruku berpamit pada Ayah dan Kak Bin, lalu bergegas menghampiri Kak Bon yang cemberut dan mengantuk di mobil.
“Let’s go, Bos!” kataku sambil memasang safety belt.
“Besok-besok, kerja yang bener. Jadi nggak cuma dapat segitu,” gumamnya, lalu menjalankan mobil.
Aku nyengir. Aku tahu dia masih sebel karena akulah yang mendapat kontrak kerja dengan Ayah kemarin. Tape diputar dan mengalunlah lagu Maliq and d’Essential, band favorit Kak Bon. Untuk menghargai perasaannya yang mungkin masih terluka, aku tidak mengganti lagu itu.
Baru sepuluh menit mobil melaju di jalan, Kak Bon terpaksa harus memutar balik. Aku kelupaan proyek Biologiku yang masih berada di meja belajar. Ketika aku kembali ke mobil (sambil ngos-ngosan karena berlari sekencang-kencangnya), musik sudah berganti dengan HIV-nya Netral. Alis Kak Bon hampir menyatu saking berkerutnya dan dia pasti akan mengomel atau membentakku kalau aku buka mulut sedikit saja. Ketika sampai di jalan yang sama, kendaraan sudah mulai ramai dan Kak Bon harus mengeluarkan seluruh kepiawaiannya untuk menyalip-nyalip segala rupa kendaraan di sekeliling kami. Heran, apa nikmatnya sih seribu orang ini mengendarai mobil masing-masing satu dan di pagi hari pula. Lama-lama Jakarta harus buat jalan layang yang bisa nembus gedung lagi, kayak di Jepang, biar cepet.
Ketika sampai di sekolah, aku mengucapkan terima kasih plus maaf kepada Kak Bon dengan terburu-buru, lalu bergegas lari ke arah gerbang sekolah yang hampir tutup. Pak Mus, si satpam sekolah yang wujud rupanya mirip upil; kecil, item dan ngeselin, mengawasi jam tangannya dengan cermat, menghitung detik-detik sebelum dia harus menutup gerbang sekolah. Tanpa belas kasih, tanpa pamrih, nyaris tanpa kemanusiawian. Untungnya aku termasuk lima manusia dan satu mobil beruntung yang berhasil lolos pada detik-detik terakhir sebelum geretekan pagar diakahiri dengan bantingan cukup keras dan suara gerendelan pagar. Terus saja setiap hari seperti ini, dan bentuk tubuhku akan mengalahkan Hale Berry. No more fitness, boro-boro diet.
“Via!” panggil seseorang.
Aku menoleh, mencari-cari orang yang memanggilku. Ternyata Zafran, teman sekelasku dulu saat kelas satu SMA, tapi sekarang beda kelas. Dia di XII IPA 2, dan aku di IPA 5. Dia tidak kelihatan berkeringat, atau ngos-ngosan, yang pasti tampangnya tidak mungkin lebih parah daripadaku sekarang ini; berkeringat dan rambut yang berantakan. Dan aku baru ingat; tentu saja, dia kan bawa mobil.
“Lolos juga ya?” tanyaku. Dia membarengi langkahku menuju kelas.
“Iya. Less minute,” katanya. “Parah banget deh, si Mus. Kalau nggak inget udah kelas tiga, gue ciumin dia sama moncong mobil gue,” katanya sambil menunjuk Cherokee hitamnya di parkiran.
Aku tertawa. “Pasti lo susah nahan dirinya.”
Dia nyengir dan membantuku naik di undakan yang agak tinggi. Sebenarnya itu tidak perlu.
“Thanks, tapi aku bisa sendiri kok,” kataku.
Zafran melihatku lalu mendengus tertawa.
“Masih sama aja kayak dulu. Pantang banget sih, dibantu,” katanya.
“Yah, nggak gitu juga sih…”
Zafran bukan cowok sembarangan. Dia laki-laki baik hati yang ganteng juga kaya raya, tipikal tokoh utama laki-laki dalam novel remaja. Yang aku suka darinya, dia selalu bisa mencairkan suasana sehingga tidak ada cewek yang merasa jelek jika berada di dekatnya. Aku nggak tahu kebenarannya tapi menurut gosip yang sempat beredar, pacarnya sekarang adalah sutradara film-film indie yang cukup terkenal.
“Eh, masih suka bikin cokelat nggak?” katanya tiba-tiba saat kami menyusuri koridor dan sebentar lagi akan berpisah karena kelas kami terletak cukup berjauhan.
Aku memandangnya keheranan. Bagaimana dia masih bisa ingat? Dulu pernah ada festival di sekolahku ketika aku masih kelas satu, dan kelas kami direncanakan untuk menjadi booth cokelat. Aku yang memang sejak dulu hobi membuat cokelat dianugerahi tugas mahapenting, jadi Master Koki. Hampir semua cewek di kelasku berebut ingin menjadi waitress dan menghidangkan cokelat panas atau smoothie cokelat atau sekedar menjaga stand air mancur cokelat dan lollipop, karena seragam waitress-nya sangat lucu dan keren. Percaya atau tidak, saat itu. Satu-satunya sukarelawan yang mau menjabat sebagai asisten Master Koki hanyalah Zafran… dan Adela sahabatku tentu saja karena aku mengancam dia tidak boleh mencicipi cokelat kalau tidak membantu. Saat itu juga aku sempat menolak niat Zafran yang sangat mulia untuk membantuku, karena bagaimanapun juga, dia jauh lebih hot jika memakai seragam waiter daripada celemek bunga-bunga milik Adela.
“Masih. Tapi udah jarang sih. Emangnya kenapa?” kataku.
“Nanti ke kantin kan? Gue tunggu di sana ya, ada yang mau gue bicarain,” katanya sambil tersenyum kecil. Dia lalu melambai dan berjalan ke kelasnya.
Kata-katanya itu membuatku terbengong-bengong sampai ke kelas. Bahkan saat Adela menyerempet bahuku dan mengacung-acungkan Cadburry Blackforest ke depan hidungku.
“Ini, buat sarapan lo!” katanya dengan nada riang.
“Eh, iya. Makasih.”
Adela tampak memperhatikanku.
“Lo kenapa? Bete?” katanya sambil duduk di sampingku.
“Nggak kok.”
“Sakit?”
“Apaan? Nggak lah…”
“Kok bengong?”
Aku nyengir.
“Nggak ada apa-apa kok.”
Sepertinya aku nggak cukup berhasil meyakinkannya, tapi yang penting dia berhenti menanya-nanyaiku dan mulai mengoceh tentang tugas Biologinya yang basah nyemplung ke kolam ikan tadi pagi. Ini jadi memberiku waktu untuk berpikir soal apa yang kira-kira akan dibicarakan Zafran di kantin nanti, dan menimpali cerita Adela dengan kata-kata penghiburan standar dan menyalah-nyalahi kolam ikan serta pembantunya yang menyenggolnya.
Ketika jam Biologi selesai dan semua tugas (kecuali tugas Adela) sudah dikumpul, aku berjalan keluar kelas bersama Adela yang merunduk-runduk sembunyi di sampingku agar tidak kelihatan Bu Ami, guru Biologi kami. Setelah sampai di bawah, baru Adela kelihatan agak lega dan berjalan tegak lagi.
“Nggak usah makan yuk! Kita ke ruangan klub fotografi aja. Gue mau ketemu Milan nih!” katanya tiba-tiba.
“Eh… aku…” Gimana nih? “Aku laper banget nih. Ayo dong, ke kantin aja. Orang yang lebih mentingin pacar daripada temen bakal dikutuk lho…” kataku ngeles.
Adela kelihatan kecewa. “Yah…”
“Ya? Iya dooong, lo kan sobat gue…” bujukku.
“Ya udah deh, gue SMS Milan dulu,” kata Adela akhirnya.
Yes!
Aku dan Adela berjalan sambil mengobrol ke kantin. Aku hanya menimpali sesekali saja, namun pikiranku sudah tiba lebih dulu di kantin dan menerka-nerka apa yang akan Zafran katakan. Atau jangan-jangan dia berubah pikiran dan waktu aku sampai di sana, dia nggak ada? Waduh, pikirku, kenapa aku jadi mikir yang aneh-aneh begini?
Tapi sesuai janjinya, ketika aku dan Adel masuk ke kantin, Zafran melambai kecil dari sudut kantin yang sejuk dan dekat taman sekolah.
“Eh, itu Zafran kan? Ngapain dia ngeliat-liat ke sini?” tanya Adela kebingungan.
Aku menggapai tangannya, dan menariknya ke meja tempat Zafran duduk sendiri.
“Em, sebenernya gue ada perlu sama dia di sini, jadi…”
“Ooh, bukan karena laper ternyata? Karena janjian sama cowok cakep toh…” kata Adela usil.
Aku memutar bola mata.
“Orang yang lebih mentingin pacara ketimbang temen bakal dikutuk lho…”
“Jangan ngaco,” tukasku.
“Hai,” sapa Zafran.
Aku duduk di depannya dan Adela duduk di sampingku, tampangnya setengah cemberut, setengah menggoda. Sesaat aku bingung, apa harus aku yang memulai pembicaraan dengan Zafran? Kan dia yang punya perlu. Sebelum aku memutuskan atau bahkan membuka mulut, Zafran ternyata berinisiatif duluan.
“Lo laper?” tanyanya.
“Ha?” Aku kebingungan. Dia mengajakku ke sini buat ngeliatin aku makan?
“Ya iyalah, si Via ini, laper banget katanya…” tahu-tahu Adela menyela.
Aku menginjak kaki Adela di bawah meja.
“Ng… nggak juga kok. Hehe…” kataku.
Zafran tersenyum.
“Gue laper nih. Lo laper nggak, Del?” tanya Zafran.
Adela tentu saja langsung menyambar pada kesempatan pertama. Inget… kamu punya Milan, Del… batinku. Mana mungkin Adela melewatkan kesempatan diajak makan oleh cowok secakep Zafran. Ups!
“Iya nih. Tapi sayangnya gue lagi bokek. Hehe… tadi juga rencananya nggak mau ke kantin, tapi Via bilang udah jan…egh… aw… janjian ama lo di sini, makanya… aw… Apa sih, Vi?” kata Adela rese.
Aku mendengus keras. Adela sialan. Begitu keluar dari kantin, akan kulaporkan kealpaannya mengumpulkan proyek kepada Bu Ami.
“Vi, makan dulu yuk. Gue nggak bisa konsen ngomong ke elo kalau perut gue lagi kosong,” kata Zafran.
Eh?
“Eh… terserah lo deh.”
Akhirnya aku, Adela dan Zafran memesan gado-gado dan es jeruk—pengecualian buat Adela yang memesan jus alpukat karena dia ditraktir Zafran. Aku makan dengan perasaan campur aduk, bingung, kesel, dan penasaran diaduk-aduk sama rata di otak ku.
Zafran selesai duluan. Dia menyueruput es jeruknya sebelum memulai pembicaraan denganku.
“Via, soal yang mau gue bicarain…”
Aku mengangkat kepala agak cepat dan memandangnya. Buru-buru kulap mulutku dengan kertas serbet berwarna kuning. Adela ikut mendengarkan, padahal aku ingin dia melanjutkan saja makannya.
“Gue mau minta tolong sama lo,” kata Zafran.
“Minta… tolong? Tolong apa?” kataku.
“Lo masih suka buat cokelat kan?”
Aku mengangguk.
“Tolong ajarin gue buat cokelat dong,” kata Zafran.
Ha?
“Buat apa?” tanyaku.
Zafran tidak menjawab. Tiba-tiba aku sadar. Mungkinkah buat pacarnya? Sepertinya dia sedang menyiapkan surprise untuk pacarnya yang super keren itu dan dia memintaku mengajarinya membuat cokelat, supaya dia bisa mempersembahkan cokelat buatannya ke pacarnya tercinta itu. Dasar cowok! Kenapa dia nggak minta sama ibunya saja sih?
“Bisa nggak, Vi?” tanyanya, kali ini dengan suara pelan.
Aku menghela napas sambil menimbang-nimbang. Nanti ilmuku pasti akan dia pakai untuk ngegombalin cewek itu.
“Vi?”
Aku menghela napas lagi. Kali ini lebih lambat.
“Nggak bisa ya?” ucapnya bahkan lebih pelan dari sebelumnya.
Aku jadi iba. Ya sudahlah, kalau memang dia begitu inginnya menyenangkan hati pacarnya…
“Apa boleh buat,” kataku sambil mengangkat bahu.
Kulihat Zafran tersenyum senang.
“Nanti temenin gue beli bahan-bahannya dulu ya. terus kita buat di rumah gue,” katanya.
What?
“Sekarang? Hari ini juga?” kataku.
Dia mengangguk. Oh, sialan…
“Kalau gitu gue ikut!” sabda Adela tiba-tiba.
Oh, double-sialan…


“Yah, Ay. Kamu gimana sih? Aku kan udah keburu ada janji sama Via dan Zafran,” kata Adela dengan suara merengek.
Aku dan Zafran bertukar pandangan. Adel memasang tampang cemberutnya.
“Ya udah, iya, iya… Iya, aku ke sana sekarang,” katanya, lalu mematikan handphone-nya.
Dia memandang Zafran dengan pandangan minta maaf.
“Zaf, sori ya. Gue nggak bisa ikut, Milan minta ditemenin ke galeri bokapnya,” kata Adela. Lalu dia memandangku,”Sori ya, Beibh. Gue cabut dulu.”
“Eh, tunggu…”
Tapi Adela langsung pergi dan melambaikan tangannya, meninggalkan aku dan tanganku yang setengah terangkat. Beberapa detik hanya diisi keheningan, sampai Zafran menepuk bahuku pelan.
“Yuk, kita belanja,” katanya.
Aku akhirnya tidak punya pilihan lain selain mengangguk dan masuk ke dalam Cherokee-nya. Dia yang membukakan pintu untukku, seperti layaknya gentleman yang kulihat di film-film. Di dalam mobil Zafran memulai percakapan ringan, seperti yang selalu dilakukannya pada setiap orang terutama cewek, untuk mencairkan suasana. Zafran benar-benar laki-laki yang sopan dan menyenangkan, dan aku heran karena diriku sendiri lambat menyadari bahwa bahuku sudah lebih turun dan rileks sementara kami berdua menertawakan Pak Mus yang baru saja diomelin seorang ibu-ibu gembrot yang membawa sayuran.
Jeda diam yang ada kupergunakan untuk memperhatikan interior mobil Zafran. Inilah mobil laki-laki yang seharusnya. Desain interior mobilnya benar-benar khas laki-laki dengan dominasi warna hitam dan merah marun, dan aku mencium wangi di dalam mobil yang nyaris sama dengan wangi parfum yang sering diam-diam kuhirup dari tubuhnya jika kebetulan aku berada di dekatnya. Aku hafal betul wanginya, bahkan sekalipun bajunya ditanggalkan dan dilempar ke tumpukan baju-baju anak cowok yang lain, aku yakin masih bisa mengidentifikasikan wanginya.
Zafran menghidupkan tape-nya. Sesaat kukira alunan musik jazz atau setidaknya indie yang akan terdengar. Cherokee hitam, desain luks bernuansa hitam, wangi khas Zafran, tak ada yang bisa membuatku nyaman lebih dari ini selain musik jazz sebagai pelengkap.
Aku keliru besar. Segera saja terdengar olehku musik rock-alternative yang lengkap dengan screamo-screamo-nya, menggetarkan jok kulit yang kududuki. Aku menoleh dan melihatnya mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti irama lagu yang membuat suara jantungku terdengar sampai ke otak.
“Apaan nih?” kataku sedikit berteriak, untuk mengatasi suara-suara kesetanan yang memenuhi mobil. Aku menutup telinga.
“Alesana! Keren kan?” katanya. Dia bahkan menyanyikan lirik lagunya mengikuti jeritan di vokalis, yang di telingaku tidak membentuk suatu kata apapun, apalagi lirik lagu.
Aku menghela napas menenangkan hati. Kuraih tombol di panel tape-nya dan kutekan. Jeritan yang sedang setengah jalan langsung berubah menjadi suara jazzy-nya Jason Mraz. Aku tersenyum lebar, ini baru hidup. Belum ada lima detik Jason menyanyi, jeritan panjang diiringi gebukan drum supercepat terdengar lagi. Cengiran lebar menghiasi wajah ganteng Zafran.
Kutekan lagi tombol, dan atmosfer kembali berganti. Baru saja Jason menyenandungkan kata pertama dalam reff-nya, suara lead guitar dan rhytm yang cepat dan terdengar sulit—sampai aku yakin jari-jari gitarisnya pasti terbelit—menggantikan slow beat lagu Lucky. Begitu terus yang kami lakukan sampai beberapa menit.
“Hei!”
“Jangan lagu lembek begitu dong!”
“Apaan sih, jerit-jerit kayak orang kesurupan begini?”
“Lagu kayak gituan cuma buat ngajarin anak SD Bahasa Inggris, tahu!”
“Ini lagu buat ritual pemuja setan, tahu nggak?”
Jari-jariku meraih tombol untuk yang ke sekian kalinya, tapi tangan Zafran menangkapku dan menjauhkannya dari tape. Sialan! Jangan di saat begini dong… Tanganku terasa tersetrum kecil saat cowok itu memegangnya. Dia malah tertawa-tawa menang.
“Gue nggak tahan, Zaf! Lagu lo bikin kuping gue budek!” kataku dengan suara cukup keras.
Dia tertawa lagi, dan lagi dan lagi ikut bernyanyi bersama lagu screamo aneh itu. Aku menghela napas keras sambil menggelengkan kepala kuat-kuat dan menarik tanganku dari genggamannya. Kututup telingaku lagi dan mencoba puas dengan hanya mendengarkan lagu pemujaan iblis itu terdengar lagi, plus suara Zafran yang bersemangat seklai mengikuti lagunya. Harus kuakui, suara Zafran jelek sekali
Sepuluh menit kedepan seperti itu, sampai akhirnya Zafran memarkirkan mobilnya di pelataran parkir sebuah supermarket. Aku turun dari mobilnya dengan perasaan lega dan hembusan napas bahagia.
Ketika dia berjalan mengiringiku menuju pintu supermarket, aku berceletuk, “Lo putar lagu kayak begitu satu jam aja di rumah gue, tikus-tikus sama kecoak bakalan pada teler, bener deh!”
Dia nyengir.
“Lo kedengeran kayak nyokap gue,” katanya sambil membukakan pintu kaca buatku masuk terlebih dahulu. Dan dia pula yang mengambil keranjang. Kami pergi ke rak bagian yang menjual selai dan toping serta bubuk-bubuk cokelat dan kopi, dan menemukan apa yang kami cari. Aku menjulurkan tanganku untuk meraih Milk Chocolate Compuond, tetapi tangan Zafran lebih dulu mengambilnya dengan mudah. Mungkin sudah menjadi peraturan dalam tata tertib cowok gentle; dilarang membiarkan cewek menyentuh benda-benda yang ingin diraihnya.
“Yang ini?” tanyanya.
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Terus, yang mana lagi?” katanya.
Aku menunjukkan White Chocolate Compuond dan dia juga mengambilkannya, dua batang sekaligus, lalu ditambah juga satu batang lagi Milk Chocolate.
“Wow. Lo mau bikin cokelat buat siapa sih sampai sebanyak ini?” celetukku tanpa bisa kucegah, atau kutarik lagi.
Dia tersenyum.
“Penasaran aja nih,” katanya.
Oke, aku nyerah. Aku melanjutkan menyusuri rak demi rak sampai ke tempat household, dan di sana dengan mudah menemukan cetakan-cetakan bagus untuk cokelat.
“Nah, lo yang pilih, mau cetakan yang kayak gimana?” kataku sambil menyerahkan beberapa jenis cetakan kepadanya.
Bahkan sebelum dia memilih, aku sudah yakin apa yang akan dipilihnya, dan benar saja. Dia meletakkan cetakan berbentuk hati dan love matter lainnya seperti beruang-beruang kecil dan amplop surat berperangko hati. Ternyata dia cowok gombal bertipe global.
“Ada lagi?” tanyanya.
“Mm… lo punya plastik segitiga nggak?” tanyaku.
“Yang dipake buat bikin hiasan tart itu kan?” dia balas bertanya.
Aku mengangguk.
“Ada sih, kayaknya. Tapi ntar gue cari di rumah,” katanya.
“Oke, kalau gitu beres!” kataku.
Kami membawa belanjaan kami ke kasir dan aku menunggu Zafran membayar semuanya di luar meja logam kasir. Setelah selesai, dia menghampiriku sambil tersenyum. Tampaknya cowok satu ini suka sekali mengumbar senyum.
“Yuk, kita ke rumah gue,”katanya. Dia membukakan pintu lagi dan kami berjalan ke mobilnya.
Sesampainya di dalam mobil, aku ragu-ragu, tapi ingin menanyakan waktu kepadanya.
“Ng, sekarang jam berapa sih?” kataku.
“Kenapa? Lo ada acara?” tanyanya.
“Enggak sih… takut kesorean aja. Bikin cokelatnya nggak sebentar lho,” kataku.
Dia melihat arlojinya. Aku sendiri tak pernah berniat memakai arloji mengingat kebiasaanku yang pelupa.
“Baru jam tiga. Nggak apa-apa kan? Kalau kemaleman, kan gue pasti antar lo sampai ke depan pintu. Kalau perlu gue yang jelasin ke nyokap lo deh!” katanya.
“Nyokap gue udah nggak ada, Zaf,” kataku.
Dia menoleh menatapku. Aku membalas tatapannya.
“Udah meninggal sejak umur gue empat tahun,” lanjutku sambil mengacungkan empat jariku.
“Oh…” Wajahnya langsung menyiratkan kepahaman sekaligus rasa sesal. “Maaf…”
“Nggak apa-apa lagi. Santai aja,” kataku sambil tersenyum.
Dia membalasnya dengan senyum kecil.
Setelah meninggalkan supermarket, kami mampir di McStop untuk membeli dua porsi BigMac dan Pepsi serta air mineral. Sebelumnya, dia meyakinkanku bahwa di rumahnya nggak ada makanan karena tidak ada yang memasak dan dia tidak ingin membiarkan anak orang kelaparan sementara ditawan di rumahnya. Akhirnya aku pasrah saja dan membiarkan dia mentraktirku makan sekali lagi, untuk yang kedua kalinya dalam satu hari. Kami makan seperti orang kelaparan di dalam mobilnya, dan bahkan dia tidak memperingatkanku agar tidak belepotan dan mengotori mobilnya. Dia hanya tertawa kecil saat seiris tomat mencelat keluar dan mengotori jok serta karpet mobilnya. Peraturan kedua dalam buku tata tertib gentleman; dilarang memperingatkan cewek, meskipun dia akhirnya membuatmu rugi.
“Maaf, maaf… aduuh, gue nggak sengaja,” kataku mengiba-iba,”…Lagian kan udah gue bilang, gue nggak pandai makan burger, apalagi BigMac begini. Jadinya malah ngotorin kan. Aduh, maaf ya, Zaf…”
Dia mengambil tisu dan mengelap, bukan joknya, tapi mulutku yang aku sendiri tidak sadar belepotan. Sambil mengawasinya melakukan itu semua aku hanya bisa tercengang menyadari betapa baiknya laki-laki ini dan betapa bodohnya diriku. Aku marasakan mukaku memerah sementara dia membersihkan daguku dengan lembut. Dia mengambil beberapa lembar tisu lagi dan menyerahkannya kepadaku.
“Ini. Bersihkan kaki lo, pada kena saus tomat begitu,” katanya sambil tertawa geli.
Aku cuma bisa menuruti kata-katanya, dan sekaligus membersihakan jok mobilnya sebisaku.
“Udah, biarin aja karpetnya. Ntar juga bisa gue bersihin,” katanya saat aku membungkuk mau mengelap noda dan memungut irisan tomat di atas karpet.
Karena terlalu merasa menyesal, aku duduk diam saja sepanjang perjalanan ke rumah Zafran. Lihat sisi positifnya, seenggaknya tidak ada Adela di sini yang akan melihat kekonyolanku dan pasti akan mengomentariku habis-habisan. Memikirkan hal itu, aku jadi bisa sedikit tersenyum.
Demi menghiburku, Zafran tidak memutar lagu Alesana-nya lagi, tapi membiarkan lagu Dia-nya Maliq and d’Essential diputar oleh penyiar radio.
Sialan! Momennya terasa terlalu pas.


Aku berdiri tegak dan memperhatikan Zafran menghias cokelat-nya sedemikian rupa. Alisnya bertaut, dahinya mengerut dan matanya menyipit dalam keseriusannya membuat cokelat menjadi seindah mungkin. Aku menghela napas dan merasa sedikit cemburu kepada pacarnya. Maksudku, cewek itu beruntung sekali mendapatkan cowok yang begitu serius menyayanginya seperti ini. kalau aku… hahaha… hanya sekali aku mendapatkan cokelat, dari orang lain selain Adela dan Ayah serta kakak-kakakku maksudnya. Aku bahkan tidak mengenal orang itu, yang memberikanku cokelat pada hari ulang tahunku yang ke enam belas, saat aku di kelas dua SMA. Sekotak Ferrero Rocher itu menyembul indah dari tumpukan buku-buku di dalam tasku saat aku mencari buku catatan Kimia di tas sekolahku malamnya. Itu saja. Tidak ada kartu atau surat, atau sekedar tulisan nama pengirimnya. Biarlah, pikirku saat itu, kalau aku punya pengagum rahasia.Yang penting Ferrero Rocher-nya ludes kumakan sendiri, sebelum salah satu dari kakak-kakakku ikut turun tangan.
“Bagaimana, Bu Guru? Yang ini lumayan kan?” kata Zafran tiba-tiba.
Aku yang tanpa sadar dari tadi melamun sambil menatapnya tersentak.
“Oh, eh… coba gue lihat.”
Aku mengangkat cetakan berbentuk enam beruang kecil yang memegang seikat bunga di dadanya. Dari semua cetakan, baru satu yang diisinya dengan cokelat hasil kreasinya. Boneka beruang putih bermata dan hidung cokelat tua itu kini menggenggam sebuket bunga berwarna pink, dan bahkan dia menambahkan detail dua titik berwarna pink di antara masing-masing ujung mulut tersenyum si beruang dengan mata cokelatnya, menunjukkan bahwa si beruang putih sedang tersipu malu. Telapak kaki si beruang juga diwarnai cokelat. Aku kagum melihat detail yang dibuatnya dalam waktu yang cukup singkat. Zafran cepat belajar dan juga cekatan. Waktu kelas satu dulu, dia hanya membantuku menge-tim cokelatnya saja karena Adela berpendapat cowok bertangan kasar dan ceroboh, nyatanya jemari Zafran begitu telaten mengias cokelat mungil pertamanya ini.
“Sini. Ada yang lupa gue tambahkan,” kata Zafran.
Aku mengembalikan cetakan cokelat kepadanya dan dia memasukkan potongan strawberry ke dalamnya. Aku tertawa.
“Kenapa?” tanyanya melihatku tertawa.
“Tadi lo udah nambahin mint di adonan cokelatnya. Masa sekarang lo masukin strawberry? Lagipula strawberry-nya nggak akan bertahan lama. Kalau yang lo masukin buah-buahan kering kayak kismis atau kurma, mungkin bisa-bisa aja,” kataku menjelaskan kepadanya.
Dia tetap tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa melainkan kembali membungkuk mengerjakan cetakan yang lain. Aku menghela napas. Ya sudahlah, aku nggak usah terlalu ikut campur. Yang penting sudah kuberitahu, jadi dia nggak akan malu di depan pacarnya nanti. Aku melirik jam dinding berbentuk labu, sudah hampir pukul enam. Gimana nih?
“Mm… Zaf?” Kucoba untuk memanggilnya.
Dia tidak menyahut. Oke, dia sedang benar-benar serius kali ini. Aku menghitung-hitung dengan gelisah. Mungkin aku bisa menunggu beberapa menit lagi sebelum pamit pulang. Lagipula, sepertinya Zafran sudah bisa melanjutkan sendiri kegiatannya, dia tidak memerlukan aku lagi.
Kulihat wajahnya yang sedang berkonsentrasi itu lagi. Dalam ekspresi sangat serius penuh konsentrasi seperti inipun dia masih terlihat sangat tampan, malah kelihatan lebih gagah. Saking seriusnya, setitik cokelat menempel di ujung hidungnya. Aku tertawa kecil.
Dia mengangkat kepalanya dan melihatku.
“Ada apa?”
Aku membungkam mulutku dan berniat tidak akan memberitahunya.
“Nggaaak. Nggak kenapa-napa kok.”
“Ooh…”
Dan kembali ditekuninya cokelat di bawahnya. Aku pun kembali menikmati memperhatikan wajahnya.
Sepuluh menit berlalu…
Sekarang benar-benar sudah lewat pukul enam. Cepat atau lambat toh aku harus menyadarkannya juga.
“Zafran…” Kali ini berhasil. Dia mendongak dan berdiri tegak. “Gue bener-bener harus pulang sekarang,” kataku, mencoba mengatakannya dengan sehalus mungkin.
Dia mengangkat kedua alisnya.
“Ehm, udah bener-bener sore. Gue takut bokap khawatir. Lagian, gue belum bilang apa-apa ke orang rumah. Sori, ya…” kataku.
“Oh, nggak apa-apa. Tapi gue beres-beresin ini dulu ya, baru setelah itu nganterin lo. Lo tunggu aja di ruang tamu,” katanya.
“Eh, nggak usah. Gue… pulang sendiri aja. Nggak apa-apa kok.”
Dia menatapku tajam.
“Jangan bercanda. Gue yang bawa lo ke sini, jadi gue juga yang balikin lo ke rumah. Lo tunggu bentar, gue beresin dulu…”
“Ng… nggak apa-ap lagi Zaf…”
Ini bukan masalah bakalan merepotkannya atau apa. Tapi masalah apa yang akan dikatakan keluargaku yang sedikit imbisil itu kalau melihat Zafran mengantarku pulang ke rumah.
“Zaf, gue harus pulang. Bukan berarti gue mau membuat lo tersinggung. Ini masalah yang lain, jadi gue harus pulang sendiri,” kataku mencoba kembali menjelaskan sementara dia membereskan panci cokelat.
Dia menghela napas dna menatapku. Entah mengapa aku rasakan sejak kami mulai membuat cokelat tadi sikapnya mulai serius, tidak penuh bercandaan seperti tadi lagi.
“Emangnya lo tahu jalan pulang?” katanya.
Lebih dari segalanya, kata-kata itu menusuk ku.
“Gu… gue bisa pulang pakai taksi,” kataku mencoba menghindar.
Kemudian hening. Hening, hening…
“Lo nggak suka sama gue ya?” tanyanya pelan.
Aduh! Apa yang harus kujawab? Ditanya seperti tu, dan dengan pandangannya itu, aku tidak tahu harus bagaimana menjawab dengan baik dan benar, serta tidak membuatnya laah paham.
“Zaf, ini bukan masalah suka atau nggak. Gue suka ada bersama lo. Lo orang yang menyenangkan. Tapi gue harus pulang sendiri. Maafin gue ya,” kataku dengan suara pelan.
Dia menatapku selama beberapa saat. Akhirnya dia mengangguk.
“Ya udah, tapi gue antarin lo nyari taksi,” katanya.
Aku bernapas lega sambil mengangguk dan tersenyum. Dia akhirnya mengantarku keluar dan kami menunggu taksi di halaman rumahnya. Aku memperhatikan pemandangan di sekitar rumahnya. Rumah Zafran menghadap ke barat, dan tanpa pagar besi tinggi sehingga langit senja benar-benar terlihat indah dari sini. Aku terpesona melihat semburat oranye kemerahan menyapu langit di depanku.
“Kavia, terima kasih ya,” kata Zafran tiba-tiba.
Aku memandangnya dan mengangguk
“No problem. Aku dapat traktiran plus mengotori mobil lo,” kataku dan tersenyum.
Dia balas tersenyum. Karena dia tidak berkata apa-apa lagi, aku melanjutkan melihat pemandangan. Tiba-tiba kulihat sesosok yang familiar di mataku.
“Mas Naven…” gumamku lirih.
Seorang laki-laki bertubuh jangkung dan berjaket cokelat tua keluar dari halaman sebuah rumah tak jauh dari rumah Zafran menuju motor berwarna merah-hitam yang terparkir di depan rumah itu. Wajahnya… kacamatanya… tak salah lagi itu Mas Naven.
“Ada apa, Via?” tanya Zafran, tapi aku keburu memanggil laki-laki itu.
“Mas Naven!”
Dan… voila! Benar saja, laki-laki itu menoleh. Kebeneran banget nih, ada tebengan. Mas Naven melambai ke arahku dan menghidupkan motornya, lalu membawanya ke depan rumah Zafran. Setelah cukup dekat, dia tersenyum kepadaku.
“Zaf, gue mau nebeng sama Mas Naven aja nih,” kataku. “Gue cabut dulu ya.”
“Siapa?” gumam Zafran pelan.
Aku memandangnya, lalu memandang Mas Naven yang tidak turun dari motornya.
“Dia pegawai bokap gue, jadi gue bisa nebengin dia,” kataku. “Pamit ya!”
Aku pun berjalan ke tempat Mas Naven dan motornya.
“Mas, aku nebeng ya,” kataku.
Dia mengacungkan jempolnya.
“Beres, Non! Naik deh!”
Aku tersenyum berterima kasih, lalu naik ke boncengannya. Ketika Mas Naven menghidupkan lagi motornya, aku menoleh ke arah Zafran.
“Gue pulang ya. Makasih, BigMac-nya!” kataku sambil melambaikan tangan.
Dia balas melambai.
“Daah! Hati-hati.”
Aku mengacungkan jempol seperti yang dilakukan Mas Naven dan laki-laki kurus itu menjalankan motornya.
Di jalan, Mas Naven mengobrol denganku.
“Dari rumah pacar ya, Vi?” katanya.
“Wah! Ya enggaklah, Mas. Itu tadi Zafran, temenku,” kataku mengkonfirmasi.
“Ooh…”
“Kenapa Mas? Cemburu? Hehehee…”
Mas Naven tertawa. Dia meraih kepalaku dengan tangan kirinya dan mengacak rambutku.
“Waduh, Mas Naven. Rambutku jadi makin kusut nih!” kataku.
“Pacarmu ganteng juga, Vi!”
“Idih, Mas Naven homo!”
“Hahaha…”
Sore itu, diatas motor sok gede Mas Naven yang dijalankan pelan-pelan di tepi kiri, aku mengenang kembali kejadian indah sepanjang hari ini.
“Mas, numpang ya di punggungnya,” kataku.
“Monggo-monggo… Biaya ojeknya nambah lima ribu ya.”
Aku tertawa dan menyandarkan keningku di punggung Mas Naven. Wanginya jauh berbeda dengan wangi tubuh Zafran, tapi. Wangi panas! Mas Naven pasti sibuk bekerja seharian ini untuk membayar cutinya kemarin. Bagaimanapun juga, Mas Naven adalah pegawai teladan Ayah.
“Via, hati-hati. Jangan ketiduran, ntar kalo jatuh trus kepalanya pecah, Mas yang repot beresin otaknya,” kata Mas Naven.
Tadinya kukira Mas Naven akan mengantarku ke toko Ayah. Tapi ternyata dia mengantarkanku sampai ke depan rumah.
“Wah, Mas Naven, aku jadi ngerepotin nih,” kataku saat sudah sampai di depan pintu.
“Nggak kok, Vi. Kebetulan hari ini Mas ambil shift sampai malam, jadi banyak waktu,” kata Mas Naven.
“Oh, ya udah sukur deh kalo nggak ngerepotin. Masuk yuk, Mas. Makan malam dulu sekalian,” kataku.
“Nggak deh. Kasiah Pak Wisnu nunggu di toko. Mas balik dulu ya, Via,” katanya.
Aku tersenyum.
“Makasih ya, Mas, tebengannya.”
Dan Mas Naven pun berpamitan pergi. Saat kubuka pintu, kejutan!
Kak Ben sudah pulang.

0 comment(s):