Jumat, 03 April 2009

BAB 3.

Posted By Ri

Bab III
Keluarga yang Tidak Hangat

Ada banyak hal di dunia ini yang bisa mengejutkan kita. Terkadang, kita sendiri yang mengharapkan kejutan-kejutan semacam itu datang. Biasanya, yang kita harapkan adalah kejutan-kejutan besar yang akhirnya tak pernah datang. Yang tidak kita sadari, terkadang hal-hal kecil yang sepele lah yang akhirnya menjadi kejutan besar.
Bagiku, inilah dia, kejutan kecil yang membuatku benar-benar terkejut. Kak Ben, kakak keduaku, yang sangat kusayangi, akhirnya pulang. Dan dialah yang membukakan pintu untukku. Yang lebih mengejutkanku adalah balutan perban di kepalanya itu. Bukan hanya terkejut. Aku shock!
“Kak Ben! Kenapa…? Apa yang…”
Dia tersenyum kecil, dan dengan tangannya dia menggiringku masuk dan menutup pintu.
“Kak Ben! Kepala kakak kenapa?” tanyaku dengan suara lebih keras saat dia tidak juga menjawab.
“Kakak nggak apa-apa. Ini luka biasa kok,” jawabnya kalem, seakan-akan yang kupertanyakan adalah jerawat kecil di dahinya atau matanya kemasukan debu.
“Nggak apa-apa gimana? Kalau kepala bocor masih nggak apa-apa, kalau mati baru bisa bilang ada apa-apa?” kataku tanpa benar-benar memaksudkannya.
Kak Ben tertawa kecil. Dia menggiringku ke ruang keluarga, lalu duduk bergabung bersama Kak Bin. Kak Bon sedang memainkan Spongeob di PS di depan mereka. Di coffee table tergeletak kotak P3K dan sebaskom air hangat. Aku meletakkan tas sekolahku di kursi berlengan dan duduk di sana. Pandanganku cukup untuk menuntut penjelasan.
“Yah… nggak ada yang perlu dijelasin secara khusus kok,” kata Kak Ben menjawab pandangan bertanyaku.
“Lha terus itu apa? Benjol? Jerawat?” tanyaku sinis.
Kak Bin yang sedang menggulung kembali perban tyang mewakili Kak Ben menjawab,”Dia kejedot di hutan.”
Jawaban yang sederhana sekaligus konyol.
“Terus? Kejedotnya sama apa? Pohon? Batu?” kataku.
“Udahlah, nggak usah diinterogasi. Ben kan udah balik, ya udah. Yang penting kan dianya masih hidup,” sahut Kak Bon tanpa melepas pandangannya dari Patrick yang sedang menggoreng patties.
Kak Ben melempar kotak perban ke kepala Kak Bon. Karena itu, entah mengapa Patrick jadi salah bergerak dan Kak Bon kalah.
“Aah, lu sih Ben! Rese lo!” katanya sambil balas melempar kacang atom.
Mereka berdua saling lempar melempar dan buntutnya bergelut di bawah coffee table.
“Aku mau mandi ah! Kalau makan malam udah siap, panggil ya!” kataku.
“Makan malam gimana? Kamu aja baru pulang. Kemana aja sih?” kata Kak Bon di sela-sela pitingan Kak Ben.
“Kenal microwave kan? Panasin sendiri dong!” kataku sambil naik ke kamarku di lantai dua.
Tiba-tiba tubuhku terasa capek sekali. inginnya langsung rebah dan tidur, tapi aku memaksakan diri untuk mandi dan berganti pakaian. Setelah duduk di atas kasur dan begitu kepalaku menyentuh bantal, aku langsung terlelap.
Entah berapa lama kepalaku berada di dalam bantalku yang empuk tetapi rasanya begitu bangun, rasa pegal-pegal di tubuhku sudah hilang. Padahal rasanya hanya dua menit. Atau dua detik? Aku melihat jam dinding, sudah pukul dua belas malam. Perutku lapar, baru saja kusadari apa yang mengganjal. Makanan terakhir yang dicernanya adalah junk food, dan aku tidak heran perutku sudah keruyukan lagi. Aku malas turun ke dapur, jadi kuputuskan menyelinap ke kamar Kak Bon dan menjarah roti gula berlapis keju yang aku tahu selalu disediakan di kamarnya, dan kalau beruntung seharusnya masih ada Sunkist di kulkas kecilnya. Kak Bon diberikan kulkas mini itu karena di kamarnya tidak ada komputer. Komputer di lantai dua hanya ada di kamarku.
Aku menyelinap sesenyap kucing garong dan mendapati Kak Bon sedang tidur menelungkup dengan posisi yang tidak simetris dengan tempat tidurnya. Sebelah tangannya menjuntai ke bawah dan kakinya berada di bawah bantal di dekat kepala tempat tidurnya. Setahuku dia satu-satunya kakak laki-lakiku yang suka tidur dengan hanya memakai boxer dan tidak suka memakai bantal. Karena melihat hal tak senonoh itu aku jadi merasa nilai sopan santunku dipertaruhkan, maka aku menggoyang-goyangkan bahu telanjangnya dan hanya mendapat balasan gumaman tak jelas.
“Kak Bon, aku minta rotinya ya…”
“Hayaeyai… eyahi.. hoyo…”
“Oke, thanks!”
Stage clear! Aku berindap ke kulkas mini berwarna merah itu dan benar saja, sebungkus roti gula berlapis keju tersimpan rapi di samping seplastik Sunkist, tepat seperti dugaanku. Aku meneliti lebih jauh lagi, apa yang kira-kira bisa kumakan, dan ternyata hasilnya nihil. Aku tidak yakin mau memakan wortel mentah di bawah itu dan aku juga tidak suka susu low fat di rak pintu ini jadi kubawa pergi roti dan Sunkist-nya saja.
“Makasih, Kakak sayang!” bisikku sambil mengecup dahinya.
Ketika kututup pintu kamarnya, kulihat dia sedang menggaruk-garuk dahinya yang kucium. Kakak sialan!
Aku berjingkat-jingkat dengan roti di tangan kananku, dan sebuah Sunkist si tangan kiriku. Baru saja aku mau masuk kembali ke dalam kamar, kudengar ada suara-suara dari ruang TV. Aku terdiam sejenak, mencoba mengenali suara-suara itu. Ternyata suara Ayah dan Kak Ben, mereka sedang berbicara berdua
Dilatar belakangi pembawa berita Breaking News di Metro TV. Entah apa alasannya, tapi sepertinya aku tahu apa yang sedang mereka berdua bicarakan, dan aku tahu aku tidak mau menguping pembicaraan mereka.
Aku pun masuk ke dalam kamar dan mulai pesta tengah malam.


Esok harinya kujalani sebagai hari yang biasa. Bahkan sejak aku bangun tadi pagi sampai sekarang saat aku dan Adela duduk-duduk di ruangan klub fotografi bersama Milan dan beberapa junior klub, tak ada sesuatu istimewa yang terjadi. Mungkin karena kemarin adalah salah satu dari beberapa hari yang cukup istmewa buatku, jadi malamnya aku mengharap sesuatu yang istimewa juga terjadi keesokan harinya. Tapi ternyata tidak. Hari ini biasa. Benar-benar biasa.
Aku bangun pagi tadi dan menyiapkan nasi goreng dan sosis buat keluargaku; kali ini lengkap dengan Kak Ben yang kepalanya diperban, pergi ke sekolah dengan Mas Naven yang diperalat Kak Bon karena kebetulan datang mengantar beberapa arsip untuk Ayah. Karena pakai motor, aku tiba di sekolah tidak terlambat dan malah sempat meminjam pena milik Mas Naven karena kotak pensilku beserta semua isinya ketinggalan di rumah. Sebelum bel masuk, aku dan Adela ngemil Cadburry Blueberry dalam toples yang diantarkan dengan baik hatinya oleh Milan ke kelasku, dan pelajaran Bahasa Inggris juga Fisika berlangsung normal sampai bel istirahat. Jadi tidak ada yang spesial pada hari ini. Memang kadang manusia itu berada di atas, kadang di bawah gelindingan roda. Kemarin begitu banyak hal yang mengejutkanku sekaligus worth untuk kukenang, sekarang semuanya lurus saja. Biasa banget.
Aku memperhatikan Adela yang sedang melihat-lihat hasil jepretan Milan di Gunung Bromo ketika minggu lalu dia dan anak-anak klub fotografi lainnya pergi ke sana. Berkali-kali kudengar Adela mendecak kagum dan engomentari hasil gambar bidikan kekasihnya itu. Aku hanya bisa menghela napas bosan. Kuraih toples Cadburry yang tadi dibawa Adela dari kelas dan membuka sebungkus kecil cokelat. Melihat benda yang warnanya sama dengan namanya ini, aku jadi teringat ‘jasa kecil’ yang kuberikan buat Zafran kemarin.
Ngomong-ngomong soal Zafran, kemana saja sih anak itu?
Bukannya aku mau sok akrab dan mengharap dia akan muncul di depanku lalu menyapaku seperti kemarin, dan kemarin-kemarin. Lagipula, siapa aku? Haha. Dia toh juga punya teman-teman yang bisa diurusinya…
Tapi apa salahnya sih nyamperin aku dan sekedar menyapa atau membahas kejadian kemarin sore, atau setidaknya memberitahukan perkembangan cokelat-cokelatnya… Semakin lama kupikirkan hal-hal yang seharusnya bisa jadi alasanya untuk menemuiku, semakin konyol jadinya. Dia kan sudah punya pacar, dan hei! Ingatlah! Dia benar-benar menyayangi pacarnya, entah siapapun itu. Bahkan aku sendiri sudah menyaksikannya sendiri kan, keseriusannya saat menyiapkan kejutan untuk sang pacar?
Cokelat rasa blueberry itu langsung lumer di mulutku saat kuemut. Aku jadi merasa bodoh karena mengharapkan yang bukan-bukan. Oke, aku memang sedikit suka pada Zafran, tapi itu hal yang alamiah kan? Dia ganteng. Siapapun yang melihatnya pada sekali pandang tak mungkin bilang dia jelek dan tidak merasa suka… okelah, sedikit kagum kepadanya. Jadi bukan salahku kalau aku sedikit cemburu pada pacarnya itu, aku berani taruhan bukan aku satu-satunya cewek yang cemburu karenanya.
Aku menghela napas lagi. Milan menyenggol Adela, dan mengangguk ke arahku.
“Dia lagi stress, dari tadi belum ketemu cowoknya,” kata Adela menjelaskan dengan senang hati.
“Cowok? Lo bukannya lagi jomblo, Vi?” kata Milan tanpa perasaan di depan adik-adik kelas.
Aku jadi ingin memasukkan toples ini ke dalam mulutnya.
“Nggak usah ngaco deh, Del!” kataku, agak jutek sebetulnya.
“Makanya lo jangan angot-angotan gitu dong. Mana bisa cowok ngedeketin kalo lo nya bete gitu?” kata Milan menimpali.
“Bising lu!” kataku.
Tiba-tiba seorang cowok nyelonong masuk ke ruang klub dan menghampiri Milan. Dia Inggar, salah satu anak fotografi juga dan… teman sekelas Zafran. Berbeda dengan wujud Zafran dengan tubuhnya yang proporsional, Inggar jangkung, dan kurus ceking dengan pipinya yang kalau bahasaku sih, ‘kempot’, tapi demi kesopanan, maka kubilang ‘tirus’. Aku jadi penasaran ingin menanyakan sesuatu, taoi Adela lah yang pertama menyuarakan yang ada dalam otakku, meskipun kalau sudah cukup mengenal Adela, tentu aku akan tahu bahwa yang akan diucapkannya pasti tidak akan menguntungkanku.
“Nah, ini ada Inggar, Vi. Gar, lo sekelas sama Zafran kan? Tahu nggak dia dimana?” kata Adela, tentu saja, dengan ceplas-ceplos.
Adakah bantal atau selimut di sekitar sini yang bisa menutup mukaku? Atau setidaknya menyumpal mulut Adela? Anak-anak fotografi sering begadang di sini kan, jadi mestinya ada di suatu tempat dekat sini…
“Zafran? Dia ada kok, tadi kayaknya sih ada di kelas. Waktu diajakin anak-anak ke kantin, katanya lagi nggak nafsu makan,” kata Inggar.
Hah? Aku memandang Adela yang melempar pandangan bertanya kepadaku. Apa? Memangnya dia kira aku melakukan sesuatu kemarin sampai Zafran begitu? Aku memalingkan muka. Kenapa ya? apa terjadi sesuatu dengannya? Atau dengan cokelat-cokelatnya?
“Lo samperin gih!” kata Adela kepadaku.
“Lho? Jadi cowok lo itu Zafran? Bukannya…”
Milan tak sempat menyelesaikan kata-katanya, aku keburu melempar toples cokelat ke mukanya.
Aku berdiri dan berjalan ke pintu.
“Yah, Vi… lo mau kemana?” tanya Adela.
“Toilet,” kataku singkat. Saat berbelok bisa kudengar suara Milan berkata, “Yah… ngambek deh dia.”
Sebenarnya aku memang sedang ingin menjauh dari mereka. Karena tidak tahu harus pergi kemana, jadi aku benar-benar pergi ke toilet di lantai satu. Niatnya sih mau buang air, meski aku nggak kebelet, tapi begitu masuk toilet, segerombolan anak kelas dua menyesakkan ruangan di depan cermin. Mereka lagi bergosip, seperti yang bisa kutebak. Baru saja aku berbalik untuk pergi, kudengar sebuah nama yang paling ingin kudengar sekarang, sekaligus paling tak ingin kudengar.
“… Beneran tahu! Katanya para it boys bakalan datang lho. Cowok-cowok sekaliber Zafran…”
Aku langsung menoleh memandang cewek yang berbicara seperti itu. Aku nggak mengenalnya.
“Tahu deeeh, yang admire Zafran banget,” kata cewek yang lainnya. “Kalau gue sih, mendingan Fion, yaa, dia kan tajir koid!”
“Emangnya Zafran nggak tajir gitu?” kata cewek yang pertama membicarakan Zafran.
“Yaa… setajir-tajirnya Zafran atau Fion, jelas nggak ada yang bisa ngalahin tajirnya Adan…”
“Siapa tuh?”
“Selingkuhannya Bu Ami!”
“Hahahaa…”
Aku memutar bola mata. Tapi demi mendengar labih banyak lagi soal Zafran, aku masuk ke bilik toilet, menguncinya, dan berdiri diam di balik pintunya.
“Ngomong-ngomong, ada yang tahu gosip baru nggak, soal Zafran?” kata suara baru—yang juga tidak kukenal—dengan suara rendah sok misterius, padahal dia seharusnya tahu pasti suaranya akan terdengar ke seisi toilet.
“Apa? Apa?”
“Dia kan… lagi nargetin cewek lhoo…”
“Haah?” seluruh bangunan toilet menggemakan suara cewek-cewek bising yang tiba-tiba bertanya-tanya siapa gerangan cewek itu. Aku sendiri pun sebenarnya ikut bertanya-tanya. Bukannya Zafran udah punya pacar? Ups, jangan-jangan, cokelat yang dibuatnya kemarin itu untuk menembak target barunya? Jangan-jangan… Zafran cowok playboy jempolan! Tapi kalau memang begitu… dia sudah meakai jasaku! No! aku nggak mau… Aku nggak mau dia nembak cewek lain dengan cokelatku… cokelat hasil ajaranku…
“Siapa sih?” tanya suara—yang singatku—cewek yang ngefans sama Zafran.
“Gue nggak tahu kongkritnya juga sih ya… tapi yang jelas, anak sini lho! Kalo kata gue sih, palingan Tiffany anak kelas dua belas itu. Gue dua kali ngeliat Zafran nganterin dia pulang…”
Tanpa sadar tanganku jatuh lemas ke pintu dan menimbulkan suara keras. Seketika, suara cewek-cewek itu berhenti. Sialan! aku menelan ludah, dan memutuskan untuk bersikap cool, dan keluar dari ruangan berbau cairan pembersih ini.
Aku mendorong pintu dan melalui cewek-cewek itu tanpa melihat mereka. Aku yakin mereka menatapku keheranan; sejak kapan cewek ini ada di situ? Mereka bahkan tidak menyadari ketika aku masuk tadi.
Aku berjalan cepat ke kelasku di lantai tiga. Saat sampai di puncak tangga, tanpa sengaja aku melihat ke arah kelas Zafran, dan di sana, di sudut tembok pembatas, duduk bersandar di tembok itu sambil melihat ke arahku; Zafran.untuk sesaat yang tak masuk akal, aku nyaris berharap melihat dia melambaikan tangannya kepadaku dan tersenyum, lalu menghampiriku. Tapi aku berbelok dan meneruskan langkah ke kelasku tanpa melihatnya lagi. perasaanku campur aduk.
Jadi karena itulah… dia pasti memintaku mengajarinya membuat cokelat untuk Tiffany yang akan ditembaknya itu. Aku nggak bisa bohong, aku sendiri sekalipun akan terharu jika melihat cowok seperti Zafran memberikan cokelat yang dia buat sendiri dan aku juga yakin, Tiffany pasti akan menerima Zafran. Aku mengempaskan diri di atas kursiku. Jadi aku sudah ketinggalan berita. Zafran pasti sudah putus dari sutradara film indie itu, dan lagipula siapa yang peduli ketinggalan berita semacam itu?
Aku mengingatkan diriku bahwa aku orang yang teralu cepat berharap. Sebelumnya, perasaanku terhadap Zafran hanya perasaan suka belaka, kagum karena kebaikan hati dan ketampanannya. Tapi aku sadar, aku jadi semakin tidak masuk akal setelah kebaikan yang dia perlihatkan kepadaku kemarin, rasa kagumku jadi membentuk semacam obsesi. Bukan urusanku dia mau berpacaran dengan siapapun juga, oke? Lagipula Tiffany memang cewek yang cantik; sejak kapan sih it girl nggak cocok bersanding dengan it boy? Dan Zafran sudah mengantarnya pulang dua kali pula…
Sial! Sial sial sial! Coba kalau aku nggak usah denger kata-kata cewek-cewek rese itu!
Coba kalau dia kemarin tidak bersikap begitu baiknya padaku…
Ketika aku menceritakan yang kudengar di kamar mandi kepada Adela, dia memandangku dengan prihatin dan membelai lembut bahuku.
“Udah deh, nggak usah ditanggepin serius. Lagian gosip-gosip murah-meriah kayak gitu harusnya nggak lo dengerin,” katanya.
Aku diam saja sambil menopang dagu. Aku mengangkat bahu.
Setelah diam cukup lama, Adela bertanya kepadaku, “Jadi… lo suka beneran sama dia?”
Aku meliriknya. Kukira dia sedang meledekku, tapi ternyata tidak. Adela masih menatapku dengan tatapan prihatin.
Aku mengangguk perlahan. Adela menghela napas keras.
“Cumi tuh si Zafran. Makanya gue mau ikut kalian berdua kemarin. Gue takut dia bikin lo salah artiin kebaikan dia. Dan gue juga nggak mau dia bikin lo kecewa kayak gini. rese banget sih, tuh orang!” ujar Adela.
Aku tersenyum kecut mendengar omelannya, tidak tahu harusnya merasa senang atau tidak. Setelah cukup lama, akhirnya aku berhasil menegakkan kepalaku dan memandang Adela, teman terbaikku.
“Ya udah lah. Salah gue juga sih, udah tahu dia orangnya emang baik, malah jadi ngarep,” kataku.
Adela menepuk bahuku.
“Sekarang lo mau ngapain?”
Aku mengangkat bahu lagi. “Ya… nggak gimana-gimana. Gue mau pulang lah.”
Adela tersenyum menyemangatiku. Kami berdua berdiri dari bangku taman tempat dari tadi kami berbicara; Adela mendengarkan curhatanku dan mengomeli Zafran di depanku untuk menghibur diriku. Kami berjalan ke gerbang sekolah. Nyaris tanpa komando, aku melirik parkiran dimana biasanya sebuah Cherokee hitam terparkir di situ. Mobil itu sudah tidak ada. Bagus. Setelah perasaanku tidak enak mendengar kata anak kelas dua tadi, aku mulai merasa Zafran menghindariku.
“Eh, itu… karyawan ayah lo kan?” kata Adela sambil menunjuk ke seseorang.
Aku mengikuti arah yang ditunjuknya. Ternyata memang benar, Mas Naven berdiri di sebelah motornya dan bersandar di pagar, jaket cokelat kesayangannya pasti membuat dia gerah dan dia terus celingukan memandang anak-anak yang keluar dari sekolahku. Aku melambai pelan dan dia menatapku. Mas Naven tersenyum. Aku menatap Adela.
“Gue duluan ya,” kataku.
Adela tersenyum manis sekali. Kadang-kadang aku merasa Milan terlalu sial mendapatkannya, tapi kadang aku berpendapat dia terlalu manis untuk Milan yang slengean. Aku berjalan cepat ke arah Mas Naven yang sudah menungguku, dan menyerahkan helm kepadaku sementara dia sendiri naik ke atas motornya. Aku naik ke boncengannya dan memakai helm, lalu menoleh dan melambai kepada Adela. Milan sekarang bergabung bersamanya.
“Kok Mas Naven jemput ke sini sih? Orang rumah pada kemana?” tanyaku ketika menyalakan motornya.
“Pak Wisnu lagi sama pelanggan di petshop, kakak-kakakmu pergi semua, jadi Mas yang jemput,” katanya.
“Ooh… Mas Nav jadi tukang ojek dadakan mulu ya, kasian. Nanti aku bilangin Ayah supaya nambahin gajinya Mas Naven,” kataku.
Dia tertawa.
“Eh, mau makan siang di rumah nggak? Aku masakin lho!” kataku tiba-tiba.
Aku mau berterimakasih kepada Mas Wisnu yang kubuat capek terus. Mas Naven tidak segera menjawab.
“Tenang aja, masakanku enak kok, tanya aja sama Ayah.”
Mas Naven masih belum jawab. Jalanan cukup ramai, jadi kubiarkan dia berkonsentrasi pada jalan dulu. Ketika kami sudah melaju di jalan yang agak sepi, aku bertanya lagi.
“Em… gimana ya?” katanya. Aku tidak tahu dia membodoh-bodohiku atau apa.
“Mas Naven udah janjian maka siang dengan orang lain ya? atau… Mas nggak mau makan siang sama aku?” kataku dengan suara sedih.
“Enggak kok… ya, nggak mungkinlah, Mas nggak mau nemenin kamu…” katanya.
“Jadi mau?” kataku sambil melonjak sampai-sampai motor Mas Naven oleng.
“I… iya, iya. Daripada kamu lapor sama Pak Wisnu…”
“Yeeeaaah!” Aku melonjak-lonjak lagi.
“Via… Vi, ini bukan di mobil ayahmu lho…”
Sejujurnya aku hanya butuh teman untuk mengobrol saja. Aku sudah mengenal Mas Naven cukup lama, bahkan aku sempat mengenal cewek yang dulu sempat dipacarinya. Dulu aku nggak habis pikir, kenapa kakak yang sangat cantik itu mau sama cowok kurus dan nggak menarik seperti Mas Naven. Tapi sekarang aku tahu alasannya; Mas Naven adalah laki-laki yang sangat baik dan menyenangkan. Dia juga selalu bertingkah apa adanya dan ahli dalam banyak bidang. Aku ingat Mas Naven pernah membantu kami sekeluarga membetulkan radio besar di perpustakaan kecil Ayah yang merupakan hadiah ulang tahun perkawinan pertama dari Bunda. Ayah sangat menjaga barang itu, makanya ketika Mas Naven bisa memperbaiki radio kuno itu, kepercayaan Ayah—dan kami semua—kepadanya jadi berlipat ganda.
Selain itu, dia juga orang yang humoris dan pemberani. Pernah ketika aku masih SMP kelas satu, ketika di halaman belakang rumah diadakan pesta barbekyu, Mas Naven diundang Ayah bersama dengan beberapa orang teman dekat Ayah yang punya anak yang dekat denganku dan kakak-kakakku juga. Waktu itu, enah bagaimana caranya dan darimana datangnya seekor ular seperti ular sawah masuk ke halaman tempat kami sedang asyik bercanda dan memanggang. Semua orang berlari ketakutan, kakiku mendadak lumpuh saking takutnya, tak mau bergerak. Waktu itu salah satu teman ayah mengambil golok untuk mencincang daging dan bermasud membabat ular itu karena ia merayap cepat ke arahku yang duduk membeku di bawah kursi taman. Tapi Ayah melarang temannya memancung si ular dan berusaha menjauhkan ular itu dariku. Saat itu ular besar itu tinggal dua meter jauhnya dariku, Mas Naven dengan cepat mengambil sebuah batang kayu dari dekat pohon dan memukul kepala ular berwarna hijau itu sehingga si ular terlihat pusing. Kemudian, Kak Bin datang tergopoh-gopoh menggendongku menjauhi ular yang sedang menggeliat pelan, sebelum akhirnya dimasukkan Mas Naven dengan berani ke kandang kosong hampir berkarat yang dulunya berisi anjing Siberian Husky. Orang-orang di sekelilingnya hanya bisa menjeritkan peringatan dan takut kalau ular itu tiba-tiba melilit tangannya.
Maka sejak saat itu, semakin tinggilah penghargaan Ayah kepadanya dan semakin kagumlah diriku akan kebaikan hatinya. usia Mas Naven saat itu pasti sekitar 25-an, karena kalau tidak salah dia sedang menyusun skripsinya, sama seperti Kak Bin. Bedanya, dia masih mengumpulkan bahan sementara Kak Bin tinggal menunggu “ACC” dari dosennya.
Sampai di rumahku yang teduh, aku mempersilakan Mas Naven masuk dan duduk di ruang keluarga, sementara aku langsung membuatkan minum untuknya dan diriku sendiri. Lalu aku naik ke kamar dan berganti baju dengan T-Shirt putih dan celana katun panjang hitam. Aku masuk ke dapur dan mulai memasak untuk kami berdua.
Masak apa sebaiknya? Aku ingin mengesankan Mas Naven dengan masakanku. Setidaknya sampai dia merasa terbayarkan karena sudah mengantarku pulang dua kali dalam dua hari terakhir. Aku mengolah dada ayam yang ada di kulkas menjadi katsu, lalu membuat sausnya sendiri dengan kecap asin dan manis serta jeruk nipis. Aku merebus sayur-sayuran dan meletakkannya dalam satu wadah. Aku mengeluarkan soba kuning dari kulkas dan kurendam dalam air panas. Kuahnyapun kupanaskan. Terakhir, kuletakkan nasi putih di atas piring; memang tidak persis seperti masakan di restoran Jepang, tapi kuharap dia suka.
Ketika Mas Naven duduk di hadapanku dan mencicipi makanannya, aku melihat wajahnya berubah sumringah.
“Enak lho!” katanya.
Aku menghembuskan napas lega melihatnya makan dengan semangat. Kasihan Mas Naven, dia pasti capek sekali. aku bersyukur dia menyukai masakanku. Namun ketika dia mencicipi kuah soba yang baru kupanaskan, kulihat alisnya sedikit berkerut dan senyumnya menjadi aneh.
“Kenapa, Mas?” tanyaku khawatir.
Sial! jangan-jangan ada yang nggak beres. Mas Naven memaksakan senyumannya.
“Nggak. Nggak kenapa-napa kok,” katanya dengan suara seperti tersedak.
Pasti ada yang salah. Aku mengambil sendok dan mencicipi sedikit kuah soba yang sudah kupanaskan.
Ya tuhan! Apa yang sudah kuberikan pada laki-laki baik hati ini?
Rasanya nggak keruan. Asem, pahit, basi! Aku meringis.
“Via, kayaknya… itu kuah empek-empek yang udah agak lama ya?” tanya Mas Naven pelan.
Bunda! Aku mau nangis! Aku meletakkan sendok dan cepat-cepat berkumur dengan air putih. Aku memunggungi Mas Naven. Aku nggak mau lihat dia. Apa yang sudah kulakukan? Meracuni tamuku? Kudengar Mas Naven bergerak di belakang, tapi aku terlalu malu bahkan untuk bicara. Ada yang menyentuh pergelangan tanganku.
“Udah, Vi, nggak apa-apa. Semua orang pernah keliu kok. Hahaha…” katanya sambil ketawa.
Dia mengajakku duduk lagi di sampingnya. Aku masih nggak berani menatapnya.
“Maaf, Mas…” gumamku pelan.
Dia masih tertawa kecil.
“Sebelumnya aku nggak pernah buat kekeliruan besar kayak gini kok, kalau masak,” kataku. Memang betul. Aku pernah masak lumpia Vietnam yang sedikit keasinan, tapi selebihnya seingatku, aku nggak pernah melakukan kesalahan fatal begini.
Mas Naven menepuk kepalaku pelan dan mengacaknya sedikit. Dia masih senyam-senyum. Gila, ini orang baik banget sih. aku saja nggak akan tahan kalau nggak cepat-cepat berkumur tadi. Dia malah ketawa-tawa, berkumur saja tidak! Aku tahu dia hanya menjaga perasaanku, tapi seandainya dia muntah-muntah dan bilang tidak mau makan masakanku lagi, aku juga nggak akan tersinggung kok, memang ini salahku.
“Yuk, makan lagi!” kata Mas Naven. “Kamu nggak makan?”
Aku menggeleng.
“Mas masih sanggup makan? Aku aja udah nggak selera lagi,” kataku sambil memberanikan diri sedikit untuk menatapnya.
“Ya… masih lah. Masakan seenak ini jarang Mas makan. Mas sih, paling ya… nasi uduk, mentok-mentok ayam bakar,” katanya. “Makanan begini sih, udah sama dengan traktiran di restoran Jepang…”
“Masa? Mana ada restoran Jepang yang ngeracunin pelanggannya?” kataku.
“Cuma masalah seujung kuku ini. Selain kuahnya, yang lain enak banget kok. Kamu coba dong, makanya…”
Ketika aku masih nggak bergerak, dia menarik piringnya lagi.
“Kalau gitu Mas makan lagi ya? laper nih…” katanya.
Aku mengangguk pelan. Tiba-tiba sepotong katsu yang ditusuk garpu nongol di depanku. Aku mengangkat wajahku dan melihat Mas Naven; dia malah tersenyum lebar sambil mengangkat-angkat alisnya dengan konyol.
“Buatku?” tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri.
“Kamu harus coba,” katanya.
Dia menyuapiku katsu itu. Enak sih.
“Nasinya dong…” kataku.
Dia tertawa, lalu menyuapiku nasi dengan sendok. Makanan yang tadinya spesial buat Mas Naven akhirnya ikutan kujarah. Toh dia nggak keberatan, hehehe…
Ketika kami berdua hampir menyelesaikan makan siang spesial yang jadi super spesial—karena pakai acara suap-suapan, kayak orang sakit dan susternya—bel pintu depan berbunyi.
“Sebentar ya, Mas. Aku lihat dulu ke depan,” kataku.
Mas Naven mengangguk.
“Jangan lama ya! ntar keburu abis!”
“Siip!”
Aku berjalan ke ruang tamu dan membuka pintu. Siap yang bertamu jam-jam segini? Tukang kredit? Ketika pintu terbuka, aku hampir tersedak.
Zafran berdiri di depan pintu rumahku dengan pakaian rapi sambil membawa sebuah bungkusan dan sebuket bunga lily putih.
Gosh.
Hening…
Masih hening…
“Hai,” sapanya sambil tersenyum manis.
Aku sudah lupa bagaimana cara membalas sapaannya, lagipula mataku masih terpaku pada dua benda di tangannya.
“Em… “Dia bergerak gelisah,”… Aku nggak… Kamu… lagi sibuk ya?” katanya.
“Oh!” Suaraku sendiri terdengar seperti suara orang lain. “Oh… nggak kok. Kenapa?”
Kenapa dia memanggilku ‘kamu’?
“Aku…” Dia menghela napas pelan,”… Pertama-tama, aku mau kasih ini dulu buat kamu,” katanya sambil memberikan bunga itu.
Siapa yang memberitahunya aku suka bunga lily?
“Makasih,” ucapku pelan.
Aku ragu-ragu, apa seharusnya kusuruh dia masuk, lalu membuatkan minum? Karena dia diam saja, aku pun memutuskan menyuruhnya masuk saja. Lagipula kan di dalam ada Mas Naven.
“Masuk deh. kita ngobrol di dalem aja ya? di luar panas,” kataku. Alasanku lemah sekali karena matahari pun tidak nampak.
Zafran mengangguk, dan masuk setelah aku masuk—seperti biasa. Aku tidak menutup pintu, sebenarnya aku juga ragu harus menutupnya atau tidak, jadi kubiarkan saja terbuka.
“Mau minum nggak? Gue bikin dulu ya?” kataku setelah dia duduk di sofa.
Aku langsung menyesal begitu menawarinya. Aku takut nanti membuat kekonyolan seperti yang kulakukan pada Mas Naven. Untung dia menolaknya.
“Nggak usah deh, Vi. Aku nggak lama kok,” katanya.
“Oh…” Aku nggak tahu seharusnya senang atau tidak dia tidak akan lama. Aku duduk agak jauh darinya. Tidak terlalu jauh juga sih, maksudnya kami nggak duduk ujung-ujungan sofa, tapi nggak dekat juga. Bunganya aku letak di sampingku. “Ada perlu apa sih kesini? Tumben… sampai bawa bunga segala,” kataku, berusaha agar suasana tidak teralu tegang dan suaraku terdengar seolah-olah cowok yang membawakan bunga ke rumah seorang cewek—yang menyukainya—adalah hal biasa sama sepereti kalau mereka mau mengerjakan proyek Biologi bersama.
Syukurlah, dia tertawa.
“Em, iya nih, aku… Aku nggak kebetulan lewat sih. sebenarnya ada yang mau aku bicarakan sama kamu,” katanya, dengan suara yang lebih mantap.
“Oh… ya? Apa?” tanyaku. Bahkan ketika mengatakannya, jantungku sudah terpompa beberapa kali lebih cepat daripada biasanya.
“Aku… mau nanya pendapat kamu,” katanya.
“Oke… soal apa?” Ini anak kenapa ngulur-ngulur pembicaraan sih?
“Soal…” katanya menggantung ucapannya. Dia menghela napas lagi, “… soal kita berdua.”
Kita? Berdua? Maksud lo?... kata suara di hatiku. Menurut lo?... kata suara di kepalaku.
“Yah… emangnya, kita kenapa?” kataku mencoba terdengar seakan tidak mengerti ucapannya. Ini tidak terlalu bohong; sebagian diriku memang belum mengerti apa yang dia bicarakan.
“Aku…” gumamnya. Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. Sialnya, dia juga sedang melakukan hal yang sama.
Sedetik… dua detik… sepertinya sudah beberapa jam berlalu—apa sudah seharian ya?—ketika dia akhirnya mengucapkan enam kata itu.
“Via, kamu mau nggak jadi pacarku?”
Tuhan. Ini bukan sinetron remaja kan? Jadi kenapa adegan ini ada di sini?
Aku tidak bisa memikirkan apa yang seharusnya kukatakan. Melihatku diam, dia berdeham, dan aku terlonjak. Aku yakin dia tidak bermaksud mengagetkanku. Zafran menyerahkan sebuah kotak berwarna putih berukuran sedang yang terikat dengan pita berwarna merah.
“Ini… buat kamu.”
Aku mengambil kotak itu. Apa dia mengharapkanku membukanya di sini? Tentu saja dong, memangnya yang dia berikan ini kado ulang tahun, yang seharusnya dibuka sendirian?
“Gue buka ya,” kataku sambil tersenyum—dengan susah payah. Dia mengangguk.
Aku mengurai pitanya dengan hati-hati supaya tidak rusak, aku berencana menyimpannya di meja belajarku nanti. kubuka penutup kotaknya perlahan.
Jreng…
Cokelat-cokelat berbentuk boneka beruang dan amplop surat berstempel hati dengan berbagai warna yang begitu cantik balas menatapku dari dalam kotak.
Aku menatapnya, lalu memandang Zafran dengan tatapan tidak percaya.
“Ini…” Aku tidak menyelesaikan kata-kataku. Aku nggak tahu apa yang harus kukatakan.
“Yap. Itu cokelat yang kubuat kemarin. Kamu masih ingat yang itu nggak?” katanya sambil menunjuk sebuah cokelat beruang putih yang terletak di tengah, dengan bunga berwarna pink yang dipegangnya.
Aku tertawa.
“Ya ampun… ini kan, cokelat pertama yang lo bikin? Ya kan?” kataku. Ampun, aku masih saja memanggilnya ‘lo’.
Dia mengangguk sambil tersenyum lembut.
“Dicoba dong,” katanya.
Setelah melihatnya, dan mendapat anggukan, aku mengambil cokelat beruang pertamanya itu. Kugigit kepalanya, dan cokelatnya lumer di mulutku. Potongan stroberi yang dia tambahkan kemarin terasa manis di lidahku.
“Enak lho…” kataku sambil tersenyum.
“Kan kamu yang ngajarin,” katanya.
Aku tersipu malu. Hei! Masa aku jadi kayak tokoh sinetron begini?
“Via…” panggilnya.
“Ya?”
“Gimana pendapatmu?”
Aku tertegun. Aku lupa pokok masalah utamanya. Hei, tunggu! Siapa bilang itu masalah?
“Kalau…?” kataku—seperti dia—mencoba mengulur.
“Kalau… kita jadian,” katanya kalem.
Dia terlihat jauh lebih rileks setelah aku mencicipi cokelatnya. Sementara aku jadi lebih tegang.
“Em… gue…” Aku masih belum bisa mengatakannuya dengan benar.
Tunggu dulu. Kok ada yang aneh?
“Tunggu dulu… Bukannya lo mau nembak Tiffany?” tanyaku kebingungan.
Dia terlihat lebih bingung lagi.
“Tiffany? Anak IPA 3?” tanyanya.
Yah… Dia kira aku kuper, sampai harus menyebutkan kelasnya.
“Iya. Bukannya lo mau nembak dia?” kataku mengulang pertanyaanku.
“Kata siapa?” katanya dengan nada heran.
“Kata… kata anak-anak…” kataku dengan suara lebih melemah.
“Anak-anak siapa?”
Aduh, ini orang.
“Ya, anak-anak! Anak-anak sekolahan. Mereka pada ngeliatin lo nganterin Tiffany pulang dua kali, terus semuanya berasumsi, kalau lo bakalan nembak dia sebentar lagi…”
Ya udah lah. Sudah kepalang basah, sekalian saja dia tahu aku ikut mendengarkan gosip-gosip tentang dirinya.
“Yah… itu kan asumsi mereka. Kamu percaya?” katanya dengan alis terangkat sebelah.
“Yah, mau nggak mau. Emangnya gue punya pilihan?”
“Ya punya dong. Kamu bisa percaya aku,” katanya. Giliranku mengangkat alisku. “Rumah Tiffany searah denganku. Dia ikut nebeng karena supirnya nggak jemput.”
“Wah, kalo gue… nggak dijemput mah, naik angkot aja!” celetukku.
Dia tertawa lagi.
“Ya… itulah. Jadi jangan dengerin kata orang. nggak mungkin aku mau nembak Tiffany,” katanya.
“Kenapa? Tiffany cantik,” sahutku. Lho? Kenapa aku yang ngotot.
Dia memandangku aneh.
“Manusia kan nggak cuma tampang, Vi. Lagian…” katanya sambil tersenyum kecil kepadaku,”… Aku kan suka kamu.”
Bletak! Dor! Dor! Dor! Kudengar jantungku memberontak ingin keluar dari rongganya. Aku yakin mukaku sudah semerah pita hias di tanganku ini sekarang.
“Gimana aku tahu kamu nggak bohong? Kamu nggak bercanda?” kataku pelan. Entah mengapa, perasaan khawatir tiba-tiba melandaku.
“Kamu bisa percaya aku,” katanya mengulangi ucapannya beberapa saat yang lalu. “Lagipula, kupikir kado ulang tahun dariku tahun lalu udah ngasih tahu kamu perasaanku… sesunggunya.”
Aku menatapnya bingung sekaligus tercengang. Memangnya dia memberiku kado ulang tahun?
“Yang… mana, yah?” kataku dengan begonya.
“Lho? Jadi kadonya nggak sampai ke kamu?” kata Zafran yang ikut kebingungan.
“Nggak. Maksud gue, kalau emang iya, kayaknya gue nggak tahu hadiah lo yang mana.”
“Aku kasih kamu cokelat waktu itu. Dengan pita merah seperti ini,” katanya.
Cokelat? Pita merah? Aku mencoba memeras ingatanku. Ya Tuhan, aku benar-benar pelupa.
“Gue bener-bener nggak bisa inget, Zaf. Sori…” ucapku pelan.
Aku melihat wajah Zafran sedikit kecewa.
“Oh… ya udah lah. Mungkin nggak sampai ke kamu,” kata Zafran.
Aku merasa bersalah. Padahal, ini bukan salahku kan? Seingatku memang nggak ada hadiah dari Zafran dan kalau memang hadiah itu tidak sampai, ya salah si kurirnya dong.
“Vi, kamu sudah bisa jawab pertanyaanku yang tadi?” kata Zafran tiba-tiba.
Aduh. Lagi-lagi… Aku masih terdiam.
“Ka… kalau kamu nggak bisa jawab sekarang… juga nggak apa-apa kok. Aku cuma pingin… kamu tahu. Kalau aku udah lama suka sama kamu. Dan kemarin, waktu kita belanja sama-sama, makan, rebutan tape di mobil, dan semuanya itu, aku seneng banget. Aku seneng kita bisa jalan berdua seperti kemarin…” katanya.
Aku tersenyum kecil. Kamu nggak tahu, Zaf, kalau aku juga bener-bener senang dan nyaman berada di dekatmu…
“Pikirkan dulu ya, Via. Aku pingin kita bisa sama-sama mengerti perasaan kita satu sama lain. Karena aku suka kamu…”
Tiba-tiba terdengar bunyi berkelontangan dan gedubrukan dari dalam rumah. Aku menoleh cepat ke ruang tengah, namun tidak melihat apa-apa. Jangan-jangan Mas Naven…
Aku berdiri dan berjalan cepat ke ruang makan. Zafran ragu-ragu, tapi dia juga mengikutiku di belakang. Di dalam dapur, aku melihat Mas Naven basah kuyup di bagian baju dan celananya, terduduk di lantai dan peralatan masakku berserakan di sekelilingnya. Di atas semua itu, telapak tangannya berdarah dan pisau berlumuran darah merah pekat tergeletak di sampingnya.
“Mas!” jeritku pelan. Aku mendekatinya dan membantunya berdiri.
Mas Naven mengaduh pelan saat kutarik berdiri.dia memegangi bagian belakang kepalanya. Aku menoleh putus asa kepada Zafran.
“Bantuin dong!” kataku.
Zafran seperti tersadar dan segera memapah Mas Naven, dan kami berdua membantunya duduk di kursi makan. Aku panik. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan. Aku takut melihat darah di tangan Mas Naven. Aku lebih takut lagi melihat pisau yang masih tergeletak di lantai.
Zafran yang bergerak duluan. dia mengambil baskom di rak piring dan mengisinya dengan air hangat dari keran. Diletakkannya di meja makan dan Mas Naven merendam tangannya di situ. Dia tidak mengaduh lagi, tapi aku tahu pasti masih sakit. Aku mencari-cari kotak P3K di lemari dapur, tapi tidak ada. Harusnya ada… Dan aku baru ingat Kak Bin memakainya tadi malam untuk mengobati Kak Ben. Aku mengambilnya di coffee table di ruang tamu, dan segera kembali untuk mengobati Mas Naven.
“Mas… kok bisa gini sih?” tanyaku sambil membersihkan lukanya dengan kapas.
Kukeringkan daerah di sekitar telapak tangannya, dan kusemprotkan disinfektan.
“Hehe… tadi Mas nggak sengaja nyenggol pisau di wastafel, eh semuanya jadi jatuh begitu. Mas jadi kepeleset, untuk nggak ketusuk pisau lagi.” Dia tertawa.
Aku menatapnya heran. Apa dia memang punya kelainan jiwa, atau apa, tapi kenapa dia terus tertawa di saat yang tidak seharusnya? Aku tidak berbicara lagi melainkan melanjutkan mengobati luka Mas Naven. Tanganku gemetaran karena masih shock.
“Vi,” ujar Zafran. Tangannya memegang tanganku yang gemetaran. Aku memandnagnya. “Biar aku aja yang balut lukanya. Kamu tenangin diri kamu sendiri dulu.”
Aku menatap Mas Naven yang balas menatapku, dan memberikan senyum kecil menenangkan. Zafran mengambilkan air putih untukku dan mebelai pelan puncak kepalaku…
“Via!” sebuah suara tajam memanggil namaku dari pintu dapur.
Aku menoleh, begitu juga Mas Naven dan Zafran. Kak Bin berdiri di pintu dapur, tangannya masih berada di gorden kecil yang berada di ambang pintu yang dia singkap untuk melihat ke dalam dapur. Di belakangnya muncul Kak Ben dan Kak Bon. Aku merasakan tangan Zafran meninggalkan kepalaku dan aku tahu dia juga terkejut, sama sepertiku.
”Lo siapa?” Kali ini siapa lagi kalau bukan Kak Bon. Dia memandang Zafran.
Apa-apaan sih mereka? Aku memandang Zafran untuk melihat reaksinya. Bahkan sebelum Zafran sempat menjawab, Kak Ben menyela.
“Kenapa kamu mengizinkan dia masuk ke sini? Kamu nggak tahu nggak satupun keluargamu ada di rumah ini?” kata Kak Ben kepadaku.
Kepalanya masih diperban, dan belum apa-apa, aku sudah merasa ingin menambah perbannya lagi.
“Di dalam rumah ada Mas Naven, dan kupikir dia keluarga kita juga…”
“Lo siapa?” Kak Bon menyela dan ngotot sambil tetap memandang Zafran. Dia maju melewati Kak Bin dan Kak Ben, ekspresinya seperti ingin menghajar Zafran saat itu juga.
“Saya Zafran…”
“Siapa? Lo temen Via?” potong Kak Bon.
Kupikir Kak Bon masih merasakan luka ospek yang mendalam sampai mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
“Iya! Dia temenku. Terus kenapa?” kataku sedikit menantang. Aku berdiri dari kursi ke samping Zafran yang berdiri salah tingkah. Dari sudut mataku, kulihat Mas Naven menunduk sambil memegangi tangannya.
“Kamu nggak boleh bawa laki-laki masuk rumah sembarangan, Dik, kalau kami saja nggak kenal orangnya. Apalagi kamu bawa ke dapur kita,” kata Kak Bin.
“Tadinya kami sedang ngobrol di ruang tamu, tapi Mas Naven luka, dia kena pisau. Memangnya kalian pikir, kalau bukan Zafran, siapa yang bisa membantuku? Kalian kan tahu aku nggak mungkin menangani Mas Naven sendirian…” Kurasa sebentar lagi aku akan menangis.
“Ngapain lo ke sini? Dan bunga ini?” Dengan pandangan ngeri, kulihat Kak Ben mengangkat buket bunga tulip yang baru kusadari dipeganginya sejak tadi. “Dan ini? Apaan nih? Lo mau ngegoda adik gue?” katanya pedas sambil melempar kotak cokelat ke lantai di depannya.
Cokelat-cokelat yang telah susah-payah dibuat Zafran berserakan di lantai. Aku menatap Kak Ben tidak percaya. Keluarga macam apa sih mereka?
“Kalian nggak berhak memperlakukan Zafran kayak gini. dia orang baik-baik!” seruku hampir menjerit.
“Kamu nggak bisa tahu cowok macam apa dia sebelum kami mengenalnya. Dan kami belum mengenalnya. Walaupun aku jarang di rumah, tapi Bin dan Bon juga nggak tahu siapa dia. Siapa dia? Pacarmu? Kamu udah berani pacaran tanpa sepengetahuan kami?” kata Kak Ben dengan nada dingin paling menusuk hatiku.
“Iya! Kayak kalian kan! Memangnya kalian pikir kalian itu cowok macam apa? Kalian sebut diri kalian kakakku?! Aku bahkan nggak mau kenal kalian!” teriakku.
Aku menghentak pergi sambil menyeka air mataku. Aku naik ke kamarku dan tidak berhenti sebelum membanting pintu kamar menutup dan menguncinya. Aku menangis sejadi-jadinya dan melempar gulungan perban yang masih kudenggam sejak tadi.
Aku benci mereka! Kenapa aku punya kakak-kakak yang begitu menyebalkan seperti itu? Sekarang aku tidak tahu apa yang dipikirkan Zafran. Dia pasti membenciku.
Aku benci mereka!
Aku melempari foto kakak-kakakku dan aku yang tergantung di dinding dengan bantal. Aku menutup mukaku dengan bantal yang lain sambil menangis. Kenapa Ayah tidak mengajari mereka sopan-santun? Kenapa Bunda tidak mendidik mereka dengan benar?
Kudengar suara Kak Bon mengetuk pintu kamarku dna memanggilku.
“Aku benci kalian. Aku ingin kalian terjun ke laut dan dimakan hiu!” jeritku.
Aku menutup telinga karena tidak mau mendengarkan kata-kata yang diucapkan Kak Bon. Aku tidak akan mau lagi berbicara dengan mereka sampai mereka memperbaiki semua bencana ini.

0 comment(s):